TINJAUAN KASUS MONETER DALAM BISNIS INTERNASIONAL
Kasus Penetapan Standar Emas dan Dampaknya
Terhadap Perekonomian Dampak dari depresiasi rupiah terhadap Dollar ini amat
dahsyat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpuruk. Kebijakan otoritas
moneter yang menerapkan kebijakan uang ketat (tigh money policy) untuk
membendung pelemahan rupiah dengan menaikkan suka bunga memaksa bunga pinjaman
naik. Akibatnya proyek-proyek terhenti dan sejumlah perusahaan-perusahaan
gulung tikar. Dampak selanjutnya adalah terjadinya PHK besar-besaran. Harga
sembako dan juga barang-barang lainnya meningkat tajam sehingga membuat rakyat
semakin menderita (Yusanto, 2001: 3). Peristiwa yang lebih mutakhir adalah
krisis keuangan yang melanda Argentina. Mata uang Argentina, Peso didevaluasi
hingga lebih dari 100% dari Dollar AS yang menjadi patokan. Salah satu alasan
utama kebijakan devaluasi ini adalah keputusan untuk menghentikan pematokan
(pegging) peso terhadap Dollar AS, yang oleh IMF dianggap tidak lagi dapat
dipertahankan. Kegagalan strategi pemerintah
dan kekacauan tersebut telah
mempengaruhi situasi negara-negara AS lainnya (Fredericks, 2004: 149). Dalam
kondisi moneter yang tidak stabil dan menimbulkan penderitaan tersebut ternyata
pihak spekulan menghadapi keadaan sebaliknya. Menurut Stiglizt (199: 2003)
pukulan berat yang mengakibatkan real estate dan pasar saham Thailand mengalami
gelembung (bubble) diakibatkan oleh uang spekulatif panas yang mengalir ke
negara tersebut. Dan memang pada faktanya perubahan arah modal spekulatif ini
merupakan akar pergerakan eksesif pada nilai tukar. Menurut Stiglizt (2003:
199) salah satu sumber keuntungan para spekulan adalah uang yang berasal dari
pemerintah yang didukung oleh IMF. Sebagai contoh ketika IMF dan pemerintah
Brazil mengeluarkan sekitar 50 miliar Dollar untuk menjaga nilai tukar yang
berada pada level overvalued pada akhir 1998, uang tersebut seakan hilang
ditelan angin. Namun pada faktanya uang tersebut sebagian besar mengalir ke
kantong-kantong para spekulan. Beberapa spekulan mungkin mengalami kerugian
sementara yang lain untung namun secara umum para spekulanlah yang memperoleh
seluruh uang yang diderita oleh pemerintah. Bahkan menurut Stiglizt (2003: 199)
IMF-lah yang menjaga agar para spekulan tersebut tetap dapat berbisnis.
Berdasarkan pemaparan di atas sangat wajar jika sejumlah kalangan mulai
mempertanyakan faktor fundamental yang menjadi pemicu berbagai krisis tersebut.
Mereka mulai mencari solusi alternatif yang dapat menstabilkan kondisi moneter
dan keuangan baik yang bersifat domistik maupun yang bersifat internasional.
Salah satu negara yang memberikan respon yang kuat dari instabilitas sektor
moneter tersebut adalah Rusia. Pemerintah Rusia telah menyadari sifat
spekulatif pasar uang dan ketidakstabilan yang diakibatkan oleh penetapan
standar mata uang itu. Pada 10 Juli 2001 The Bank of Rusia yang merupakan Bank
Sentral Rusia mengedarkan mata uang emas yang bernama Chervonet. Dengan
demikian mata uang emas menjadi alat pembayaran yang sah. Diharapkan dalam
jangka pendek orang-orang Rusia bersedia mengubah tabungan mereka dari mata
uang Dollar menjadi mata uang Chervonet disamping Rubel yang saat ini beredar.
Dalam jangka panjang Rusia juga diharapkan dapat membuat perubahan besar dalam
kebijakan keuangan internasional di tengah kegalauan banyak negara yang berusaha
melepaskan diri dari sistem keuangan dunia yang berporos pada kepentingan
bangsa Anglo-AS (Frederick, 2004: 195). Bahkan pada perjanjian Mastrich bulan
Februari 1992-dalam upaya untuk menciptakan mata uang tunggal pada tahun
1999-Bank Sentral Eropa yang merupakan peleburan dari bank-Bank Sentral
negara-negara Eropa berupaya mengumpulkan 50 milyar Euro dalam bentuk emas dari
seluruh negara-negara anggota sebagai cadangannya. Demikian pula halnya pada
tanggal 1 Januari 1999. Dewan Pengawas Bank Sentral Eropa telah menetapkan
bahwa 15% dari cadangan dasarnya yang mencapai 9,5 milyard Euro harus berbentuk
emas (Salim, 2004). Keinginan sejumlah ekonom dan pejabat pemerintahan untuk
kembali pada standar emas (gold standard) bukanlah tanpa alasan. Disamping dampak
negatif yang telah diakibatkan oleh standar mata uang kertas (fiat money
standard), motif tersebut juga dipicu oleh bukti historis kemampuan standar
emas (gold standard) dalam menjaga stabilitas moneter selama lebih kurang 100
tahun hingga tahun 1914 ketika Perang Dunia I pecah. Pada masa tersebut standar
emas telah mampu mewujudkan kestabilan moneter domostik maupun internasional
serta mampu menciptakan perdamaian dan kesejahteraan dalam kurun waktu yang
cukup panjang (Kimball, 2005). Inflasi yang menjadi masalah serius bagi
otoritas moneter di rezim fiat money standard–pada masa tersebut dapat berjalan
secara stabil. Hal ini karena rezim tersebut memiliki rezim moneter yang
berjalan secarar otomatis yang dapat mengatur pergerakan supply money di suatu
negara serta diawasi secara disiplin oleh otoritas moneter masing-masing
negara. Dengan demikian faktor utama yang menjadi pemicu inflasi pada uang
subtitusi sepenuhnya dapat dikendalikan (Herbener, 2002). Hal ini juga diakui
oleh diakui oleh Frederik Hayek (1976) sebagaimana yang dikutip oleh Block
(1999): “Secara signifikan hal tersebut hanya terjadi pada kejayaaan sistem
industri modern dan selama standar emas yang berlangsung sekitas dua ratus
tahun…pada masa itu harga-harga diakhir rezim tersebut tidak mengalami
perubahan. Ia sama sebagaimana awalnya.” (Hayek, 1976:16) “Kecuali selama dua
ratus tahun ketika standar emas diterapkan. Selain itu pemerintah sepanjang
sejarah telah mengunakan kekeuatan eksklusif mereka untuk menipu dan mencuri
harta rakyat.” (Hayek, 1976: 15) Disamping itu dengan adanya nilai tukar yang
tetap antara mata uang suatu negara negara dengan negara lainnya menjadikan
arus perdagangan dan investasi tumbuh dengan pesat. Hal ini sebagaimana yang
dinyatakan oleh Grenspan (1966) yang juga dikutip oleh Block (1999) : Ketika
standar emas diterima sebagai alat pertukaran oleh sebagian besar negara,
standar emas internasional yang bebas tanpa batas telah membantu percepatan
pembagian tenaga kerja (devision of labour) dan perluasan perdagangan
internasional. Meskipun alat-alat tukar (seperti Dollar, Pound, Franch, dll)
berbeda antara satu negara dengan negara lainnya dan seluruhnya detetapkan
nilainya dengan emas, namun selama masa tersebut tidak ada hambatan bagi
perdagangan ataupun pergerakan modal (movement of capital).” Meski demikian
harus diakui bahwa kondisi demografis, ekonomi, politik dan budaya serta
perkembangan teknologi masyarakat saat ini telah mengalami perubahan yang
signifikan dibandingkan masa tersebut. Namun setidaknya terdapat beberapa
faktor fundamental yang dapat dikaji pada standar moneter tersebut dalam
menciptakan stabilitas moneter dan keuangan dibandingkan dengan standar moneter
lainnya termasuk standar mata uang kertas saat ini yang didominasi oleh Dollar.
Analisis Kasus Standar Emas dan Dampaknya
Terhadap Perekonomian.
Nilai emas yang relatif stabil memang mempermudah
ketika emas di jadikan sebagai standar mata uang internasional dan pembayaran
internasional. Namun ganjalan yang ada selama ini adalah mata uang AS yaitu
dollar AS. AS yang mengklaim diri sebagai Negara adidaya tidak mau jika mata
uang mereka yaitu dollar digantikan oleh emas (Dinar) sebagai standar
pembayaran nasional. Hal ini agak aneh,padahal dari data yang ada diatas,
tampak jelas bahwa standar mata uang kertas banyak menimbulkan dampak negatif.
Contohnya adalah tingginya inflasi karena nilai mata uang kertas yang
berfluktuatif dan dampak positif dari emas adalah nilai emas yang tetap tinggi
dan tidak berfluktuatif. Selain itu, banyak juga yang mendaesak agar standar
mata uang kembali ke emas. para pakar perekonomian dunia memberikan saran untuk
menjadikan emas sebagai standar keuangan global. Cara ini mereka yakini sebagai
jalan yang terbaik untuk memulihkan dan mengembalikan stabilitas keuangan global.
Para pakar ini mendorong negara-negara berkembang untuk menarik diri dari
perekonomian global dan melepaskan diri dari kapitalisme pasar bebas yang di
setir oleh Amerika . Pada umumnya para ekonom sadar bahwa sejak keruntuhan
sistem kurs nilai tetap), tidak ada lagi suatu sistem moneter internasional
yang stabil dan memuaskan. Disamping melibatkan isu-isu teknis yang penting dan
rumit, solusi untuk memecahkan permasalahan tersebut terkait erat dengan
persoalan politik yang sangat krusial. Isu tingkat nilai tukar tetap (fixed
exchange rate) versus tingkat nilai tukar fleksibel (flexible exchange rate)
dan kaitannya dengan masalah pengaturan sistem moneter internasional dianggap
sebagai akar dari masalah ini. Oleh karena itu masa depan sistem moneter internasional
yang stabil dan terintegrasi akan tetap diliputi oleh banyak pertanyaan sampai
masalah standar keuangan ini terpecahkan.
Comments
Post a Comment