TINJAUAN KASUS ACFTA



ACFTA, Delian Leaguage dan Power Transition Oleh: Dion Maulana Prasetya (Koordinator Riset CEAS)
Kesepakatan ASEAN-China Free Trade Area – yang dimulai awal tahun 2010 – merupakan sebuah kebijakan yang strategis. Dari kesepakatan tersebut bisa lahir kebijakan fiskal bersama, seperti yang dilakukan Uni Eropa setelah melalui beberapa proses integrasi ekonomi. Namun, tidak menutup kemungkinan kesatuan kebijakan tersebut akan mengarah kepada integrasi regional yang lebih menyeluruh, termasuk politik. David Mitrany menyebut proses tersebut dengan ramifikasi.[1] Uni Eropa memulainya dengan kerjasama batubara dan baja (European Coal and Steel Community). Kerjasama itu kemudian mengalami ramifikasi – atau istilah Ernst Haas spill over – sampai saat ini telah menciptakan mata uang bersama. Jika mengacu pada Mitrany, tentunya ACFTA akan berdampak positif bagi perekonomian maupun keamanan Asia Tenggara.
Dalam bidang perekonomian, terjalinnya ACFTA akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Hingga 2005 ASEAN menjadi mitra kerjasama kelima terbesar bagi China. Nilai investasi ASEAN ke China sebesar 28 persen sejak tahun 1991 sampai 2001. Sedangkan investasi China ke ASEAN sebesar 7,7 persen dari seluruh investasi China ke luar negeri.[2] Nilai invenstasi China ke ASEAN yang relatif kecil sebenarnya seimbang dengan besarnya nilai investasi ASEAN ke China. China sendiri merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Hal tersebut merupakan potensi pasar yang sangat besar bagi negara-negara Asia Tenggara. Kerjasama ACFTA – selain memunculkan interdependensi – juga akan menjadikan China sebagai negara hegemon di kawasan. Hal itu bisa dilihat dari perekonomian yang terus melesat mengejar Amerika Serikat dalam satu dekade terakhir. Bank Dunia memprediksi,[3] Cina akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar mengalahkan AS, 25 tahun yang akan datang.[4] Dan yang lebih mengagetkan, tujuh dari lima belas ekonomi dunia akan berasal dari kawasan Asia. Tentunya prediksi semacam ini akan menimbulkan dampak yang sangat positif bagi negara-negara Asia Tenggara. Absennya AS di kawasan Asia Tenggara merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kedekatan China dengan negara-negara Asia Tenggara. Permasalahan keamanan yang pernah membuat hubungan China dan beberapa negara Asia Tenggara tegang di masa-masa Perang Dingin, kini telah mencair. Begitu juga dengan permasalahan sengketa wilayah di Laut China Selatan. Sengketa klaim kepemilikan kepulauan Paracel di Laut China Selatan antara China, Filipina dan juga Vietnam juga dapat diredam sangat baik, dengan dibentuknya kerjasama untuk mencari cadangan minyak bersama di wilayah itu.[5] Kesepakatan tersebut tentunya sangat positif, mengingat sengketa wilayah Laut China Selatan telah berlangsung secara terbuka pada tahun 1996. Pada tahun tersebut terjadi aksi tembak menembak antara angkatan laut China dan Filipina di dekat pulau Capones. Peristiwa tersebut terjadi beberapa kali sampai tahun 1999. Kerjasama-kerjasama tersebut nampaknya menjadi semakin bermakna, ketika memasuki abad 21, China giat mengembangkan kemampuan soft power-nya. Hard power – seperti ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dan pertahanan – yang dimiliki oleh China tidak perlu diragukan lagi. Saat ini soft power China yang berbasis pada budaya, filosofi-filosofi tradisional, dan lain sebagainya,[6] semakin diminati oleh negara-negara di Asia Tenggara. Joseph Nye mengatakan, soft power adalah “kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan melalui ketertarikan (attraction) daripada paksaan atau bayaran.[7] Salah satu perbedaan mendasar antara hard dan soft power terletak pada medianya. Jika soft power menggunakan budaya sebagai media untuk menarik negara – atau aktor – lain, hard power menggunakan ancaman, paksaan atau hukuman (sticks and carrots). Soft power itu ditandai dengan kesuksesan China meyakinkan negara-negara di Asia Tenggara terhadap kebijakan good neighbourly relations.[8] Selain itu, keaktivan China dalam upaya menjaga perdamaian dunia, melalui PBB, ASEAN Regional Forum atau Shanghai Cooperation Organization (SCO), juga memberi nilai tersendiri bagi China.
Analisis Kasus Kerja sama ACFTA-China
Kerja sama yang dibangun oleh Negara-negara ASEAN dengan China yang notabene merupakan suatu kerja sama yang akan sangat berdampak positif bagi kedua belah pihak, khususnya Negara ASEAN. Adanya langkah-langkah nyata dari China yang memang dikenal sangat giat dalam berinovasi bisnis , pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi dalam tekhnologi telah membuat Negara-negara ASEAN yang bekerja sama dengan China ini kini lebih mempunyai pandangan ke depan tentang bagaimana bersaing dalam dunia bisnis. Disamping itu, kemajuan perdagangan dan bisnis di China yang merupakan Negara yang mempunyai penuduk terpadat di dunia membuat Negara-negara ASEAN akan sedikit terbantu dan akan lebih mempunyai lahan untuk berinvestasi. Perubahan kebijakan luar negeri China yang signifikan tentunya juga sangat berdampak pada negara-negara Asia Tenggara. Kawasan Asia Tenggara yang sempat mengalami kekosongan kekuasaan kini telah diisi oleh China. China telah berhasil masuk di kawasan Asia Tenggara, dengan perubahan kebijakan luar negeri yang lebih bersahabat dan ditunjang dengan soft powernya. Perpaduan yang menarik dan baru antara sistem politik otoriter (satu partai) dengan ekonomi liberal, meningkatkan ketertarikan negara-negara Asia Tenggara untuk mengikuti jejak China. Keterpurukan demokrasi liberal di abad 21 memberikan dampak yang berarti bagi kawasan Asia Tenggara. Negara-negara seperti Myanmar dan Thailand yang masih memiliki kultur otoriter, sedikit banyak akan terpengaruh oleh China. Pengaruh China yang kuat di kawasan Asia Tenggara itu berdampak pada sistem internasional, terutama Amerika Serikat. AS yang telah mengalami kegagalan di Afghanistan dalam perang melawan terorisme, sadar bahwa Asia Tenggara telah lama ditinggalkannya. Negara-negara Asia Tenggara saat ini lebih bersifat cair, tidak lagi terkotak-kotak oleh ideologi. Mereka lebih bebas memilih pihak mana yang lebih menguntungkan. Fenomena ini tentu membuat AS khawatir, karena kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang terpenting. Kekhawatiran AS ini bisa berdampak buruk bagi perdamaian dunia, karena selama ratusan tahun, ketakutan akan meningkatnya kekuatan rival bisa menyebabkan perang. Yang dimaksudkan disini adalah bagaimana kebiasaan AS yang sering panik dan membuat konflik ketika mereka sudah berada pada posisi yang tidak aman.

Comments

Popular posts from this blog

LINGKUNGAN DOMESTIK, ASING DAN INTERNASIONAL

STRATEGI HARGA INTERNASIONAL/GLOBAL

MANAJEMEN SDM INTERNASIONAL