ANALISIS POLITIK DUMPING

Latar belakang masalah
            Saat ini banyak sekali Negara-negara yang melakukan politik dumping yaitu menjual barang keluar negeri lebih murah daripada barang didalam negeri. Hal ini banyak dilakukan oleh Negara-negara untuk merebut pasar diluar negeri dan mendapatkan untung yang besar. Sebaliknya bagi Negara pengimpor, Praktek dumping merupakan praktek dagang yang tidak fair, karena bagi negara pengimpor, praktek dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing, sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, yang diikuti munculnya dampak seperti pemutusan hubungan kerja massal, penggangguran dan bangkrutnya industri barang sejenis dalam negeri. Dengan kata lain hakikat dumping sebagai praktek curang.
Rumusan Masalah

  1. Tuduhan Praktek Dumping yang dilakukan oleh Indonesia : Pada  Sengketa Anti-Dumping Produk Kertas dengan Korea Selatan
    Indonesia menjual produk kertasnya lebih murah ke Korea Selatan daripada negaranya sendiri Indonesia dikenai tuduhan dumping mencangkup 16 jenis produk



Praktek Dumping yang dilakukan China terhadap Amerika

  1.  China menjual ban ke Amerika dengan harga yang murah dibanding harga pasaran di Amerika.
  2. China menekan nilai tukar yuan dibawah nilai sebenarnya.

Pengertian Dumping
Politik Dumping adalah Suatu kebijakan yang dilakukan oleh Negara atau perusahaan pengekspor kepada Negara atau perusahaan importir, dengan menjual harga barang lebih murah di Negara importir daripada dinegaranya sendiri.

Pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.

Sedangkan menurut kamus hukum ekonomi dumping adalah praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimport.

Menurut Jacob Viner, pengamat dan ahli ekonomi dari Kanada mengatakan, dumping ada tiga bentuk, yaitu pertama, sporadic dumping, merupakan dumping yang bersifat tidak tetap. Kedua, dumping as intermitent, bersifat tidak tetap, tidak berkesinambungan, dan dilakukan dalam kurun waktu yang singkat. Yang ketiga, yaitu dumping as persistent, bersifat tetap dan terus menerus, yang berarti merupakan dumping bentuk merugikan dan mengandung unsur dan bersifat sengaja dan direncanakan untuk merebut pangsa pasar produsen barang sejenis negara tuan rumah. Dan bentuk ketiga inilah yang benar-benar mengancam produsen dalam negeri.

Terdapat 5 tipe dumping dari tujuannya:
1.   Market Expansion Dumping, Perusahaan pengekspor bisa meraih untung dengan menetapkan “mark-up” yang lebih rendah di pasar import karena menghadapi elastisitas permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah.
2.   Cyclical Dumping, Motivasi dumping jenis ini muncul dari adanya biaya marginal yang luar biasa rendah atau tidak jelas, kemungkinan biaya produksi yang menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan produk terkait.
3.  State Trading Dumping, Latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori dumping  lainnya, tapi yang menonjol adalah akuisisi.
4.    Strategic Dumping, Strategi yang dilakukan negara pengekspor yang merugikan perusahaan di negara pengimpor melalui strategis keseluruhan, baik dengan cara pemotongan harga ekspor maupun dengan pembatasan masuknya produk yang sama ke pasar negara pengekspor.
5.    Predatory Dumping, Istilah predatory dumping dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan mendepak pesaing dari pasar, dalam rangka memperoleh kekuatan monopoli di pasar negara pengimpor. Akibat terburuk dari dumping jenis ini adalah matinya perusahan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis.
World Trade Organization
Praktek anti-dumping adalah salah satu isu penting dalam menjalankan perdagangan internasional guna mewujudkan terciptanya fair trade. Mengenai hal ini telah diatur dalam Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement atau Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994). Tarif yang mengikat (binding tariff) dan pemberlakuannya secara sama kepada semua mitra dagang anggota WTO merupakan kunci pokok kelancaran arus perdagangan
Peraturan – peraturan WTO memegang tegas prinsip – prinsip tertentu tetapi tetap memperbolehkan adanya pengecualian. Tiga isu utama yang ada didalamnya adalah :
  1. Tindakan untuk melawan dumping (menjual dengan harga yang lebih murah secara tidak adil),
  2. Subsidi dan tindakan – tindakan imbalan untuk menyeimbangkan subsidi (countervailing measures),
  3. Tindakan – tindakan darurat (emergency measures) untuk membatasi impor secara sementara demi mengamankan industri dalam negeri (safeguards).
            WTO dalam menanggapi masalah dumping memutuskan tindakan – tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh negara untuk mengatasi dumping. Persetujuan ini dikenal dengan Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement) atau Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994.

Cara mengatasi politik dumping
       Di Indonesia dibuat Undang-Undang Kepabeanan (UU No. 10 Tahun 1995) dalam pasal 18, 19 dan 20 untuk mengatur dumping. Dalam pasal 18 adanya Bea Masuk Antidumping yang dikenakan terhadap barang impor. Dalam pasal 19 mengatur besar kecilnya Bea Masuk yang dikenakan tersebut  sebesar selisih antara nilai normal dengan harga ekspor dari barang tersebut. Sedangkan pasal 20 mengenai Ketentuan tentang persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk. Dan bea masuk sendiri terbagi atas 2, yaitu:

Bea Masuk Anti Dumping
Bea Masuk Anti dumping dikenakan terhadap barang dumping yang menyebabkan kerugian bagi industri dalam negeri. Besarnya Bea Masuk Antidumping adalah setinggi-tingginya sama dengan margin dumping yaitu selisih antara nilai normal dengan harga ekspor dari barang dumping. Nilai normal adalah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis di pasar domestik negera pengekspor untuk tujuan konsumsi.

Bea masuk Imbalan
Bea Masuk Imbalan dikenakan terhadap barang yang mengandung subsidi yang menyebabkan kerugian bagi industri dalam negeri Besarnya Bea Masuk Imbalan adalah setinggi-tingginya sama dengan subsidi neto

Subsidi neto adalah selisih antara subsidi dengan :
1. Biaya permohonan, tanggungan atau pungutan lain yang dikeluarkan untuk memperoleh subsidi, dan/atau
2.    pungutan yang dikenakan pada saat ekspor untuk pengganti subsidi yang diberikan kepada barang ekspor tersebut
Dalam hal importasi barang yang bersangkutan dapat dikenakan Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan secara bersamaan, maka harus dikenakan salah satu yang tertinggi.

Terdapat komite yang bertugas untuk menangani politik dumping
Komite anti Dumping
Untuk menangani masalah dumping dan imbalan, pemerintah dalam hal ini Menteri Perindustrian dan Perdagangan membentuk KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA (KADI) yang beranggotakan unsur Deperindag, Depkeu dan departemen atau lembaga non departemen terkait lainnya.

Komite tersebut bertugas :
1.    Melakukan penyelidikan terhadap Barang yang diduga sebagai barang Dumping atau barang Subsidi
2.    Mengumpulkan, meneliti dan mengolah bukti dan informasi
3.    Mengusulkan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan
4.    Melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan
5.    Membuat laporan pelaksanaan tugas.

Ø  Tahap pertama dari proses Anti Dumping adalah penyelidikan oleh Komite Anti Dumping yang dilaksanakan oleh TIM OPERASIONAL ANTI DUMPING (TOAD) atas barang impor yang diduga sebagai barang Dumping dan/atau barang mengandung subsidi yang menyebabkan kerugian. Bagi industri dalam negeri inisiatif untuk melakukan penyelidikan tersebut dapat dilakukan atas inisiatif dari komite sendiri atau karena permohonan industri dalam negeri.
Ø  Dalam hal adanya permohonan dari industri dalam negeri, komite harus memberikan keputusan menolak atau menerima dan memulai penyelidikan atas permohonan tersebut paling lama 30 hari sejak diterimanya permohonan tersebut. Keputusan diambil berdasarkan penelitian atas bukti yang diajukan dan dianggap memenuhi persyaratan.
Ø  Penyelidikan harus diakhiri dalam waktu 12 bulan sejak keputusan dimulainya penyelidikan, namun dalam hal tertentu dapat diperpanjang menjadi selama-lamanya 18 bulan.
Ø  Dalam hal terbukti adanya dumping, komite menyampaikan besarnya marjin dumping dan/atau subsidi netto dan mengusulkan pengenaan Bea Masuk Antidumping atau Bea Masuk Imbalan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Menperindag memutuskan besarnya nilai tertentu untuk pengenaan Bea Masuk Antidumping atau Bea Masuk Imbalan yang besarnya sama dengan atau lebih kecil dari Marjin Dumping dan/atau Subsidi Netto.
Ø  Atas dasar keputusan Menperindag tersebut, Menteri Keuangan menetapkan besarnya Bea Masuk Antidumping atau Bea Masuk Imbalan. Dalam hal tidak terbukti, komite menghentikan penyelidikan dan melaporkan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

Persetujuan Anti Dumping (Anti-Dumping Agreement) atau Agreement on the
Implementation of Article VI of GATT 1994.
            Pasal VI GATT memberikan hak kepada pihak pengimpor untuk menerapkan langkah-langkah anti-dumping, yaitu tindakan terhadap impor suatu produk dengan harga ekspor di bawah "nilai normal" nya (biasanya harga produk di pasar domestik dari ekspor negara) kalau impor dumping tersebut menyebabkan kerugian pada industri dinegara atau di wilayah pihak pengimpor. Pasal VI GATT memberikan hak kepada pihak untuk melakukan langkah-langkah anti-dumping.

Masalah politik dumping
Tuduhan Praktek Dumping yang dilakukan oleh Indonesia : Pada  Sengketa     Anti-Dumping Produk Kertas dengan Korea Selatan”
            Indonesia sebagai negara yang melakukan perdagangan internasional dan juga anggota dari WTO, pernah mengalami tuduhan praktek dumping pada produk kertas yang diekspor ke Korea Selatan. Kasus ini bermula ketika industri kertas Korea Selatan mengajukan petisi anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commission (KTC) pada 30 September 2002. Perusahaan yang dikenakan tuduhan dumping adalah PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, PT. Pindo Deli Pulp & Mills, PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk dan April Pine Paper Trading Pte Ltd.
Produk kertas Indonesia yang dikenai tuduhan dumping mencakup 16 jenis produk, tergolong dalam kelompok uncoated paper and paper board used for writing, printing, or other graphic purpose serta carbon paper, self copy paper and other copying atau transfer paper.
Indonesia untuk pertama kalinya memperoleh manfaat dari mekanisme penyelesaian sengketa atau Dispute Settlement Mechanism (DSM) sebagai pihak penggugat utama (main complainant) yang merasa dirugikan atas penerapan peraturan perdagangan yang diterapkan oleh negara anggota WTO lain. Indonesia mengajukan keberatan atas pemberlakuan kebijakan anti-dumping Korea ke DSM dalam kasus Anti-Dumping untuk Korea-Certain Paper Products.
Perumusan masalah:
1.  Indonesia menjual produk kertasnya lebih murah ke Korea Selatan daripada negaranya sendiri
2.  Indonesia dikenai tuduhan dumping mencangkup 16 jenis produk
Pembahasannya
Indonesia berhasil memenangkan sengketa anti-dumping ini. Investigasi anti-dumping juga harus dihentikan jika fakta dilapangan membuktikan bahwa marjin dumping dianggap tidak signifikan (dibawah 2% dari harga ekspor). Atau jika volume impor dari suatu produk dumping sangat kecil atau volume impor kurang dari 3% dari jumlah ekspor negara tersebut ke negara pengimpor. Tapi investigasi juga akan tetap berlaku jika produk dumping impor dari beberapa negara pengekspor secara bersamaan diperhitungkan berjumlah 7% atau lebih memang Indonesia melakukan Dumping, hanya saja Korsel bisa ditetapkan bersalah karena tidak melakukan penelitian dan penghitungan seperti yang ditetapkan dalam ketentuan WTO sehingga suatu negara bisa menetapkan Bea Masuk Anti-dumping.

Pada mulanya harga produk kertas Korsel tinggi dan juga produsen kertas korsel tidak dapat memenuhi beberapa permintaan pasar. Pada saat itulah masuk produk kertas Indonesia dengan harga yang lebih murah (termasuk jika dibandingkan dengan harga di pasar Indonesia) dan juga dengan produk yang memiliki fungsi / nilai substitusi atas produk kertas yang tidak dapat dipenuhi produsen kertas korsel, hal ini disebut juga dengan “Like Product”. Karena hal inilah maka produk kertas Indonesia lebih banyak diminati oleh pasar di Korsel, sedangkan kertas produk Korsel sendiri menurun penjualannya. Itulah mengapa Korsel menetapkan BMAD terhadap produk kertas yang masuk dari Indonesia, untuk melindungi produk dalam negerinya.

Sayangnya Korsel tidak mengikuti ketentuan penetapan Anti-Dumping dalam WTO, untuk melakukan penyelidikan sebelum menetapkan bea anti dumping. Dalam keputusan WTO, Indonesia dimenangkan dalam keputusan panel.

Praktek Dumping yang dilakukan China terhadap Amerika
Di Amerika mengalami kenaikan tajam akan barang – barang impor. Terutama barang – barang yang berasal dari China. Hal ini disebabkan China melakukan praktek politik dumping terhadap pasar di Amerika. Terutama dalam barang impor berupa ban yang berasal dari China. Ban yang berasal dari China ini, harganya di pasaran relatif dibuat lebih murah di Amerika. Hal ini menyebabkan pengusaha – pengusaha ban di Amerika mengalami kerugian karena ban yang mereka produksi menjadi kurang laku di pasar. Hal ini menyebabkan Amerika melakukan tindakan proteksionis untuk melindungi pengusaha – pengusaha ban yang ada di Negara-nya sendiri. Kebijakan Amerika dengan menerapkan tarif impor lebih mahal untuk produk barang - barang China. Hal ini dimulai dengan memberikan tarif tambahan sebesar 35% terhadap ban-ban buatan China selama satu tahun. Kemudian ditambah dengan tarif impor tambahan sebesar 30% dan 25% dalam dua tahun ke depan. Amerika juga mencurigai China sengaja menekan nilai tukar Yuan di bawah nilai yang sebenarnya agar harga ekspor Negara China menjadi murah.


Penyelesaian
Kebijakan Politik Dumping yang dilakukan China terhadap Amerika sangat merugikan pengusaha ban di Amerika. Jika ini berlanjut akan dapat merusak hubungan antar kedua Negara. Oleh karena itu, China sudah seharusnya menghentikan kebijakan yang dilakukannya tersebut. tersebut. Karena, Amerika juga telah melakukan kebijakan anti dumping, untuk menutup kerugian yang ditimbulkan, sehingga praktek yang dilakukan China tidak akan mendapat untung.

Politik Dumping Kertas Yang Dilakukan Indonesia-Korea
Negara-negara berkembang pada umumnya akan membantu industri domestiknya melalui subsidi atau kebijakkan ekonomi berupa hambatan tariff atau non tariff untuk memasukkan industrinya ke persaingan internasional apalagi dalam era Globalisasi teknologi dan informasi seperti sekarang ini, Negara atau pemerintah akan berusaha mendorong industrinya untuk bersaing di pasar internasional dan untuk bersaing perlu berbagai perbaikkan kualitas baik tenaga kerja ataupun produk. Indonesia sebagai Negara berkembang pada umumnya akan memilih suatu perusahaan domestic untuk di subsidi khususnya industri yang benar-benar menjadi ekspor Indonesia. Dan selain itu, Indonesia juga mengambil kebijakkan ekonomi seperti penetapan batasan impor, hambatan tariff dan non tariff dan kebijakan lainnya. Sama seperti negara lainnya, Korea yang ingin saya soroti disini juga menetapkan kebijakan ekonomi anti dumping untuk melindungi Industri domestiknya. Kali ini yang menjadi sasaran negara yang melakukkan dumping adalah Indonesia.
Sebelum memasuki pembahasan lebih lanjut perlu kita lihat apa saja yang menjadi kerangka pemikiran untuk melihat masalah ini.

Dalam industri pulp dan kertas campur tangan pemerintah telah menimbulkan akumulasi kekuatan pasar. Konsentrasi pasar untuk kertas industri meningkat dari 37 persen menjadi 90 persen antara 1985 dan 1995, sedangkan rasio konsentrasi untuk pulp, bahan baku utama dari kertas industri, secara konsisten selalu diatas 90 persen. Pelaku pasar tertentu di sektor kertas dan pulp telah mendapat keuntungan yang besar dari perlakukan khusus oleh pemerintah di masa yang lalu. Sebagai contoh, perusahaan kertas PT Kiani Kertas mendapat Rp 250 miliar (US$ 180.70 juta) dari Dana Reboisasi untuk membangun pabrik puld dan kertas dari PT Kiani Lestari Pulp, yang dibukan awal 1997. Pinjaman ini merupakan 20 persen dari investasi total. Bunganya adalah sebesar 6.7 persen dan untuk jangka waktu delapan tahun, termasuk tiga tahun grace period.

Begitu juga kebijakkan pemerintah pada masa orde baru memilih dan mempermudah perusahaan PT Indah Kiat dari Sinar Mas Group menguasai industri kertas dari hulu ke hilir. PT Indah Kiat menguasai hutan industri dan menghasilkan barang mulai dari pulp sampai ke buku tulis, amplop, kertas komputer, kertas fotokopi, dan barang-barang kertas lainnya. Selain itu, dua anak perusahaan Sinar Mas, PT Pindo Deli dan PT Paper Onward Utama, menguasai industri kertas tisu. Dari sini dapat kita lihat bahwa sektor industri kertas sangat dilindungi terhadap persaingan asing dalam bentuk tarif impor; tingkat proteksi efektif untuk barang-barang kertas pada tahun 1995 adalah 41 persen.
Untuk mengantisipasi terjadinya perselisihan dan kesalahan interpretasi, akibat tindakan proteksi yang dilakukkan suatu negara dalam mendorong perekonomiannya, maka WTO membuat aturan untuk penerapan subsidi mengingat masalah ini merupakan masalah yang sering terjadi terkait masalah dumping dan terdapat dua macam aturan subsidi atau dukungan
1.     Dukungan atau subsidi yang membuat distorsi (trade distorting subsidies) dimana negara anggota harus menetapkan level maksimum dan kemudian menguranginya pada tingkat yang diperbolehkan;
2.     Subsidi yang dianggap tidak mendistorsi atau non trade distorting sering disebut sebagai Green Box, tidak ada jumlah maksimum yang ditentukan, sehingga Negara anggota boleh menambah tanpa batas. Green Box merupakan pembayaran untuk misalnya perlindungan lingkungan dan penelitian.
Dalam subsidi yang mendistorsi atau Trade Distorting Subsidies (TDS) terdapat tiga kategori:
a)    AMS – aggregate measurement support atau sering disebut Amber Box, ini berkaitan dengan intervensi harga dan dimasukkan sebagai yang paling mendistorsi.
b)    De minimis, ini diperbolehkan sampai tingkat tertentu yang dihitung dari persentase dari nilai produksi.
c)    Blue Box, subsidi jenis ini dianggap mendistorsi tapi tidak sebesar Amber Box.
Selain aturan-aturan tersebut, WTO sendiri juga telah membentuk Dispute Settlement Body (DSB) untuk mengantisipasi penyelesaian masalah yang terjadi diantara anggota-anggotanya.
Masalah terkait dengan pemberian subsidi dan kebijakkan proteksi adalah Dumping. Dumping terjadi apabila produk-produk impor tersebut dijual dengan harga lebih rendah daripada harga yang berlaku di pasaran. Untuk menerapkan anti dumping, badan perdagangan suatu Negara harus membuktikan terlebih dahulu bahwa dumping tersebut menyebabkan kerugian terhadap industri di negaranya. Mengingat relatif tingginya kasus dumping, hendaknya negara mencermati dan mengantisipasi serta menghindari kemungkinan adanya tuduhan dumping tersebut. Masalah ini adalah masalah yang sangat sering ditemui seperti di India terbukti melakukan tuduhan dan penyelidikan antidumping atas 425 kasus, di mana 316 kasus dikenakan BMAD, AS melakukan penyelidikan atas 366 kasus dan mengenakan BMAD terhadap 234 kasus. Sementara itu, China melakukan penyelidikan atas 125 kasus di mana 70 kasus di antaranya dikenai BMAD. Turki juga menyelidiki tuduhan praktek dumping 101 kasus bagi pengenaan 86 kasus BMAD. Sementara itu, Korsel mengenakan BMAD terhadap 46 kasus dari 81 kasus dumping yang diselidikinya.
Dumping dalam hal ini merupakan suatu tindakan melanggar kesepakatan yang telah disepakati dan diratifikasi oleh subyek hukum Internasional. Yang dimaksud subyek hukum internasional disini adalah semua subyek hukum yang mengatur aspek-aspek ekonomi baik yang sifatnya nasional maupun internasional (termasuk hukum internasional publik dan hukum perdata). Yang merupakan subyek hukum disini adalah negara yang harus memenuhi syarat sebagai negara yakni memiliki penduduk, wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan kemampuan melakukan hubungan diplomatik dengan negara lain, Individu yang statusnya tergantung kepada isi ketentuan perjanjian yang memberikan kedudukan tersebut karena kemampuan individu untuk membuat kontrak atau perjanjian ekonomi (bisnis) dengan subyek hukum lainnya, selain itu Multi national Cooperation (MNCs) dan Organisasi Internasional (OI) yang memiliki definisi yang melekat pada dirinya untuk menjadi subyek hukum internasional selain memiliki legal personality yakni kemampuan untuk melakukan perjanjian atau kontrak dengan seubyek hukum lainnya.
Mengingat dumping terjadi antar anggota WTO yang terdiri dari negara-negara berdaulat berarti terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah ditetapkan di WTO yang menjadi aturan bagi para anggota WTO untuk bertindak mengingat semua yang mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO harus menaati kesepakatan tersebut. Kesepakatan yang terbentuk antar dua pihak atau lebih merupakan sumber hukum internasional yang dapat menjadi sumber Hukum Ekonomi Internasional menurut Pasal 38 Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional selain kebiasaan inetrnasional, prinsip hukum yang diakui oleh negara bangsa, keputusan para hakim dan ajaran ahli hukum.
Indonesia merupakan salah satu Negara yang sering menerima tuduhan dumping sejak 2000 sampai Mei 2004 tercatat 102 kasus tuduhan dumping, subsidi, dan safeguard yang dituduhkan negara mitra dagang Indonesia. Dari jumlah tersebut pihak Indonesia berhasil mematahkan 40 kasus, sebanyak 49 kasus dikenakan tuduhan, sebanyak 11 kasus dalam proses dan dua kasus dibatalkan. Dengan berhasil mematahkan tuduhan dumping, subsidi dan safeguard, Indonesia pada 2003 dapat menyelamatkan devisa ekspor sebesar 136,2 juta dolar AS.
Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO yang akan saya soroti adalah kasus antara Korea dan Indonesia, dimana Korea menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree copy paper ke Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar. Tuduhan tersebut menyebabkan Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga 8,22 persen terhitung 7 November 2003. dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar.
Karenanya, Indonesia harus melakukan yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini, kasus ini bermual ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan.
Karenanya, Indonesia meminta Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia Panel DSB menilai Korea telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping dari produk kertas Indonesia.
Berdasarkan pernyataan John H. Jackson dapat disimpulkan bahwa hukum ekonomi internasional terdiri dari komponen hukum, ekonomi dan tentunya dalam cakupan Internasional.
Dalam kasus ini, dengan melibatkan beberapa subyek hukum internasional secara jelas menggambarkan bahwa kasus ini berada dalam cakupan internasional yakni dua negara di Asia dan merupakan anggota badan internasional WTO mengingat keduanya merupakan negara yang berdaulat. Dan kasus dumping yang terjadi menjadi unsur ekonomi yang terbungkus dalam hubungan dagang internasional kedua Negara dengan melibatkan unsur aktor-aktor non negara yang berasal dari dalam negeri masing-masing negara yaitu perusahaan-perusahaan yang disubsidi oleh pemerintah untuk memproduksi produk ekspor. Dumping merupakan suatu tindakan menjual produk-produk impor dengan harga yang lebih murah dari harga dan ini merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan WTO. Indonesia meminta bantuan DSB WTO dan melalui panel meminta agar kebijakan anti dumping yang dilakukan korea ditinjau kembali karena tidak konsisten dengan beberapa point artikel kesepakatan seperti artikel 6.8 yang paling banyak diabaikandan artikel lainnyadan Indonesia juga meminta Panel terkait dengan artikel 19.1 dari Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU) untuk meminta Korea bertindak sesuai dengan kesepakatan GATT dan membatalkan kebijakan anti dumping impor kertas yang dikeluarkan oleh mentri keuangan dan ekonominya pada tanggal 7 november 2003.
Yang menjadi aspek legal disini adalah adanya pelanggaran terhadap artikel kesepakatan WTO khususnya dalam kesepakatan perdagangan dan penentuan tariff seperti yang tercakup dalam GATT dan dengan adanya keterlibatan DSB WTO yang merupakan suatu badan peradilan bagi permasalahan-permasalahan di bidang perdagangan. Ini menegaskan bahwa masalah ini adalah masalah yang berada di cakupan Internasional, bersifat legal dan bergerak dalam bidang ekonomi. Sifat legal atau hukumnya terlihat juga dengan adanya tindakan Retaliasi oleh pemerintah Indonesia karena Korea dinilai telah bertindak ‘curang’ dengan tidak melaksanakan keputusan Panel Sementara DSB sebelumnya atas kasus dumping kertas tersebut yang memenangkan Indonesia dimana retaliasi diijinkan dalam WTO. Sekretaris Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Departemen Perdagangan mengatakan dalam putusan Panel DSB pada November 2005 menyatakan Korsel harus melakukan rekalkulasi atau menghitung ulang margin dumping untuk produk kertas asal Indonesia. Untuk itu, Korsel diberikan waktu untuk melaksanakan paling lama delapan bulan setelah keluarnya putusan atau berakhir pada Juli 2006. Panel DSB menilai Korsel telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktik dumping kertas dari Indonesia. Pengenaan tuduhan dumping kertas melanggar ketentuan antidumping WTO. Korea harus menghitung ulang margin dumping sesuai dengan hasil panel maka ekspor kertas Indonesia ke Korsel kurang dari dua persen atau deminimis sehingga tidak bisa dikenakan bea masuk antidumping.
Panel Permanen merupakan panel tertinggi di WTO jika putusan Panel Permanen juga tidak ditaati oleh Korsel, Indonesia dapat melakukan retaliasi, yaitu upaya pembalasan atas kerugian yang diderita. Dalam retaliasi, Indonesia dapat mengenakan bea masuk atas produk tertentu dari Korsel dengan nilai kerugian yang sama selama pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD). Korean Trade Commision yang merupakan otoritas dumping Korsel mengenakan BMAD 2,8-8,22 persen terhadap empat perusahaan kertas, seperti yang telah disebutkan diatas yaitu PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT Indah Kiat Pulp & Paper, dan PT April Fine sejak 7 November 2003. Dalam membuat tuduhan dumping, KTC menetapkan margin dumping kertas dari Indonesia mencapai 47,7 persen. Produk kertas yang dikenakan BMAD adalah plain paper copier dan undercoated wood free printing paper dengan nomor HS 4802.20.000; 4802.55; 4802.56; 4802.57; dan 4809.4816.
Dalam kasus ini, Indonesia telah melakukan upaya pendekatan sesuai prosedur terhadap Korsel. Pada 26 Oktober 2006 Indonesia juga mengirim surat pengajuan konsultasi. Selanjutnya, konsultasi dilakukan pada 15 November 2006 namun gagal. Korea masih belum melaksanakan rekalkulasi dan dalam pertemuan Korea mengulur-ulur waktu. Tindakan Korsel tersebut sangat merugikan industri kertas Indonesia. Ekspor kertas ke Korsel anjlok hingga 50 persen dari US$ 120 juta. Kerugian tersebut akan berkepanjangan sebab Panel juga menyita waktu cukup lama, paling cepat tiga bulan dan paling lama enam bulan.

Penyelesaian
Masalah Dumping merupakan masalah ekonomi yang dapat dimasukkan kedalam kasus hukum ekonomi internasional seperti kasus dumping Korea-Indonesia yang dimenangkan Indonesia. Namun untuk menghadapi kasus-kasus dumping yang belum terselesaikan sekarang (lihat table hal.5) maka indonesia perlu melakukkan antisipasi dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor. Selain itu, diperlukan penetapkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dalam rangka proses investigasi praktek dumping (ekspor dengan harga lebih murah dari harga di dalam negeri) yang diajukan industri dalam negeri. selama ini, Indonesia belum pernah menerapkan BMADS dalam proses penyelidikan dumping apapun padahal negara lain telah menerapkannya pada tuduhan dumping yang sedang diproses termasuk kepada Indonesia. Padahal hal ini sangat diperlukan seperti dalam rangka penyelidikan, negara yang mengajukan petisi boleh mengenakan BMADS sesuai perhitungan injury (kerugian) sementara. Jika negara eksportir terbukti melakukan dumping, maka dapat dikenakan sanksi berupa BMAD sesuai hasil penyelidikan. Karenannya, pemerintah harus mengefektifkan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang merupakan institusi yang bertugas melaksanakan penyelidikan, pengumpulan bukti, penelitian dan pengolahan bukti dan informasi mengenai barang impor dumping, barang impor bersubsidi dan lonjakan impor.

Kesimpulan
Sebagai kesimpulan dari hasil pembahasan dan analisa tersebut di atas maka praktik dumping merupakan bagian dari tanggung jawab Hukum Perdagangan Internasional di bawah kendali WTO. Sanksi yang diberikan apabila terbukti melakukan praktik dumping dikenakan sanksi berupa BMAD, apabila pihak yang dikenai sanksi keberatan terhadap BMAD maka dapat mengajukan keberatan ke panel WTO melalui Komisi Antidumping di DSB (Dispute Settlement Body). Sementara menjual harga di bawah harga pasar seperti yang dilakukan Negara tersebut dalam kacamata hukum persaingan akan menghambat adanya persaingan sehat. Praktik dumping dalam jangka pendek menguntungkan konsumen namun pada jangka panjang akan merugikan industri pesaing yang memiliki industri barang yang sejenis. Jadi, jika terdapat Negara yang melakukan dumping maka harus segera ditindak dengan memberi sanksi, sehingga Negara-negara lain tidak akan berani mengikuti seperti yang telah dilakukan Negara yang melakukan kebijakan itu.

Saran
Lembaga yang berfungsi untuk mengurus masalah-masalah dumping ini, harus lebih ketat lagi melakukan pengawasan kepada barang-barang dari luar negeri yang masuk, jika terdapat Negara atau perusahaan yang melakukan dumping maka harus langsung diberi sanksi berupa BMAD atau BMI kepada Negara atau perusahaan itu, supaya tidak membuat perusahaan dalam negeri rugi.


Comments

Popular posts from this blog

LINGKUNGAN DOMESTIK, ASING DAN INTERNASIONAL

STRATEGI HARGA INTERNASIONAL/GLOBAL

MANAJEMEN SDM INTERNASIONAL