ANALISIS POLITIK DUMPING
Latar belakang masalah
Saat ini
banyak sekali Negara-negara yang melakukan politik dumping yaitu menjual barang
keluar negeri lebih murah daripada barang didalam negeri. Hal ini banyak
dilakukan oleh Negara-negara untuk merebut pasar diluar negeri dan mendapatkan
untung yang besar. Sebaliknya bagi Negara pengimpor, Praktek dumping merupakan
praktek dagang yang tidak fair, karena bagi negara pengimpor, praktek dumping
akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam
negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya
jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis
kalah bersaing, sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis
dalam negeri, yang diikuti munculnya dampak seperti pemutusan hubungan kerja
massal, penggangguran dan bangkrutnya industri barang sejenis dalam negeri.
Dengan kata lain hakikat dumping sebagai praktek curang.
Rumusan Masalah
- Tuduhan Praktek Dumping yang dilakukan oleh Indonesia : Pada Sengketa Anti-Dumping Produk Kertas dengan Korea SelatanIndonesia menjual produk kertasnya lebih murah ke Korea Selatan daripada negaranya sendiri Indonesia dikenai tuduhan dumping mencangkup 16 jenis produk
Praktek
Dumping yang dilakukan China terhadap Amerika
- China menjual ban ke Amerika dengan harga yang murah dibanding harga pasaran di Amerika.
- China menekan nilai tukar yuan dibawah nilai sebenarnya.
Pengertian Dumping
Politik Dumping adalah Suatu kebijakan yang dilakukan oleh Negara atau
perusahaan pengekspor kepada Negara atau perusahaan importir, dengan menjual
harga barang lebih murah di Negara importir daripada dinegaranya sendiri.
Pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah
suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah
perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih
rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan
tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.
Sedangkan menurut kamus hukum ekonomi dumping adalah praktik dagang yang
dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan
harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang
tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada
umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan
merugikan produsen pesaing di negara pengimport.
Menurut Jacob Viner, pengamat dan ahli ekonomi dari Kanada mengatakan,
dumping ada tiga bentuk, yaitu pertama, sporadic dumping, merupakan
dumping yang bersifat tidak tetap. Kedua, dumping as intermitent,
bersifat tidak tetap, tidak berkesinambungan, dan dilakukan dalam kurun waktu
yang singkat. Yang ketiga, yaitu dumping as persistent, bersifat tetap
dan terus menerus, yang berarti merupakan dumping bentuk merugikan dan
mengandung unsur dan bersifat sengaja dan direncanakan untuk merebut pangsa
pasar produsen barang sejenis negara tuan rumah. Dan bentuk ketiga inilah yang
benar-benar mengancam produsen dalam negeri.
Terdapat 5 tipe dumping dari tujuannya:
1. Market Expansion Dumping, Perusahaan pengekspor bisa meraih untung dengan menetapkan
“mark-up” yang lebih rendah di pasar import karena menghadapi elastisitas
permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah.
2. Cyclical Dumping, Motivasi dumping jenis ini muncul
dari adanya biaya marginal yang luar biasa rendah atau tidak jelas,
kemungkinan biaya produksi yang menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas
produksi yang terpisah dari pembuatan produk terkait.
3. State Trading Dumping, Latar belakang dan
motivasinya mungkin sama dengan kategori dumping lainnya, tapi yang menonjol
adalah akuisisi.
4.
Strategic Dumping, Strategi yang dilakukan negara
pengekspor yang merugikan perusahaan di negara pengimpor melalui strategis
keseluruhan, baik dengan cara pemotongan harga ekspor maupun dengan pembatasan
masuknya produk yang sama ke pasar negara pengekspor.
5.
Predatory Dumping, Istilah predatory dumping dipakai
pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan mendepak pesaing dari pasar,
dalam rangka memperoleh kekuatan monopoli di pasar negara pengimpor. Akibat terburuk
dari dumping jenis ini adalah matinya perusahan-perusahaan yang memproduksi
barang sejenis.
World Trade
Organization
Praktek anti-dumping adalah salah satu isu penting dalam menjalankan
perdagangan internasional guna mewujudkan terciptanya fair trade. Mengenai hal
ini telah diatur dalam Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement atau
Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994). Tarif yang mengikat
(binding tariff) dan pemberlakuannya secara sama kepada semua mitra dagang
anggota WTO merupakan kunci pokok kelancaran arus perdagangan
Peraturan – peraturan WTO memegang tegas prinsip – prinsip tertentu
tetapi tetap memperbolehkan adanya pengecualian. Tiga isu utama yang ada
didalamnya adalah :
- Tindakan untuk melawan dumping (menjual dengan harga yang lebih murah secara tidak adil),
- Subsidi dan tindakan – tindakan imbalan untuk menyeimbangkan subsidi (countervailing measures),
- Tindakan – tindakan darurat (emergency measures) untuk membatasi impor secara sementara demi mengamankan industri dalam negeri (safeguards).
WTO
dalam menanggapi masalah dumping memutuskan tindakan – tindakan yang boleh dan
tidak boleh dilakukan oleh negara untuk mengatasi dumping. Persetujuan ini
dikenal dengan Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement) atau Agreement
on the Implementation of Article VI of GATT 1994.
Cara mengatasi politik dumping
Di
Indonesia dibuat Undang-Undang Kepabeanan (UU No. 10 Tahun 1995) dalam pasal
18, 19 dan 20 untuk mengatur dumping. Dalam pasal 18 adanya Bea Masuk
Antidumping yang dikenakan terhadap barang impor. Dalam pasal 19 mengatur besar
kecilnya Bea Masuk yang dikenakan tersebut sebesar selisih antara nilai
normal dengan harga ekspor dari barang tersebut. Sedangkan pasal 20 mengenai
Ketentuan tentang persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk. Dan bea masuk
sendiri terbagi atas 2, yaitu:
Bea Masuk Anti
Dumping
Bea Masuk Anti dumping dikenakan terhadap barang dumping yang menyebabkan
kerugian bagi industri dalam negeri. Besarnya Bea Masuk Antidumping adalah
setinggi-tingginya sama dengan margin dumping yaitu selisih antara nilai normal
dengan harga ekspor dari barang dumping. Nilai normal adalah harga yang
sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis di pasar domestik
negera pengekspor untuk tujuan konsumsi.
Bea masuk
Imbalan
Bea Masuk Imbalan dikenakan terhadap barang yang mengandung subsidi yang
menyebabkan kerugian bagi industri dalam negeri Besarnya Bea Masuk Imbalan
adalah setinggi-tingginya sama dengan subsidi neto
Subsidi neto adalah selisih antara subsidi dengan :
1. Biaya permohonan, tanggungan atau pungutan lain yang
dikeluarkan untuk memperoleh subsidi, dan/atau
2.
pungutan yang dikenakan pada saat ekspor untuk
pengganti subsidi yang diberikan kepada barang ekspor tersebut
Dalam hal importasi barang yang bersangkutan dapat dikenakan Bea Masuk
Antidumping dan Bea Masuk Imbalan secara bersamaan, maka harus dikenakan salah
satu yang tertinggi.
Terdapat komite yang bertugas untuk menangani politik dumping
Komite anti Dumping
Untuk
menangani masalah dumping dan imbalan, pemerintah dalam hal ini Menteri
Perindustrian dan Perdagangan membentuk KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA (KADI)
yang beranggotakan unsur Deperindag, Depkeu dan departemen atau lembaga non
departemen terkait lainnya.
Komite tersebut bertugas :
1.
Melakukan penyelidikan terhadap Barang yang diduga
sebagai barang Dumping atau barang Subsidi
2.
Mengumpulkan, meneliti dan mengolah bukti dan
informasi
3.
Mengusulkan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping dan Bea
Masuk Imbalan
4.
Melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh Menteri
Perindustrian dan Perdagangan
5.
Membuat laporan pelaksanaan tugas.
Ø
Tahap pertama dari proses Anti Dumping adalah
penyelidikan oleh Komite Anti Dumping yang dilaksanakan oleh TIM OPERASIONAL
ANTI DUMPING (TOAD) atas barang impor yang diduga sebagai barang Dumping
dan/atau barang mengandung subsidi yang menyebabkan kerugian. Bagi industri
dalam negeri inisiatif untuk melakukan penyelidikan tersebut dapat dilakukan
atas inisiatif dari komite sendiri atau karena permohonan industri dalam
negeri.
Ø
Dalam hal adanya permohonan dari industri dalam
negeri, komite harus memberikan keputusan menolak atau menerima dan memulai
penyelidikan atas permohonan tersebut paling lama 30 hari sejak diterimanya
permohonan tersebut. Keputusan diambil berdasarkan penelitian atas bukti yang
diajukan dan dianggap memenuhi persyaratan.
Ø
Penyelidikan harus diakhiri dalam waktu 12 bulan
sejak keputusan dimulainya penyelidikan, namun dalam hal tertentu dapat
diperpanjang menjadi selama-lamanya 18 bulan.
Ø
Dalam hal terbukti adanya dumping, komite
menyampaikan besarnya marjin dumping dan/atau subsidi netto dan mengusulkan
pengenaan Bea Masuk Antidumping atau Bea Masuk Imbalan kepada Menteri
Perindustrian dan Perdagangan. Menperindag memutuskan besarnya nilai tertentu
untuk pengenaan Bea Masuk Antidumping atau Bea Masuk Imbalan yang besarnya sama
dengan atau lebih kecil dari Marjin Dumping dan/atau Subsidi Netto.
Ø
Atas dasar keputusan Menperindag tersebut, Menteri
Keuangan menetapkan besarnya Bea Masuk Antidumping atau Bea Masuk Imbalan.
Dalam hal tidak terbukti, komite menghentikan penyelidikan dan melaporkan
kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Persetujuan
Anti Dumping (Anti-Dumping Agreement) atau Agreement on the
Implementation
of Article VI of GATT 1994.
Pasal
VI GATT memberikan hak kepada pihak pengimpor untuk menerapkan langkah-langkah
anti-dumping, yaitu tindakan terhadap impor suatu produk dengan harga ekspor di
bawah "nilai normal" nya (biasanya harga produk di pasar domestik
dari ekspor negara) kalau impor dumping tersebut menyebabkan kerugian pada
industri dinegara atau di wilayah pihak pengimpor. Pasal VI GATT memberikan hak
kepada pihak untuk melakukan langkah-langkah anti-dumping.
Masalah politik dumping
Tuduhan Praktek Dumping yang dilakukan oleh Indonesia : Pada
Sengketa Anti-Dumping Produk Kertas dengan Korea
Selatan”
Indonesia sebagai negara yang melakukan perdagangan internasional dan juga
anggota dari WTO, pernah mengalami tuduhan praktek dumping pada produk kertas
yang diekspor ke Korea Selatan. Kasus ini bermula ketika industri kertas Korea
Selatan mengajukan petisi anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada
Korean Trade Commission (KTC) pada 30 September 2002. Perusahaan yang dikenakan
tuduhan dumping adalah PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, PT. Pindo Deli Pulp
& Mills, PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk dan April Pine Paper Trading Pte
Ltd.
Produk kertas Indonesia yang dikenai tuduhan dumping mencakup 16 jenis
produk, tergolong dalam kelompok uncoated paper and paper board used for
writing, printing, or other graphic purpose serta carbon paper, self copy paper
and other copying atau transfer paper.
Indonesia untuk pertama kalinya memperoleh manfaat dari mekanisme
penyelesaian sengketa atau Dispute Settlement Mechanism (DSM) sebagai pihak
penggugat utama (main complainant) yang merasa dirugikan atas penerapan
peraturan perdagangan yang diterapkan oleh negara anggota WTO lain. Indonesia
mengajukan keberatan atas pemberlakuan kebijakan anti-dumping Korea ke DSM
dalam kasus Anti-Dumping untuk Korea-Certain Paper Products.
Perumusan masalah:
1. Indonesia
menjual produk kertasnya lebih murah ke Korea Selatan daripada negaranya sendiri
2. Indonesia
dikenai tuduhan dumping mencangkup 16 jenis produk
Pembahasannya
Indonesia berhasil memenangkan sengketa anti-dumping ini. Investigasi
anti-dumping juga harus dihentikan jika fakta dilapangan membuktikan bahwa
marjin dumping dianggap tidak signifikan (dibawah 2% dari harga ekspor). Atau
jika volume impor dari suatu produk dumping sangat kecil atau volume impor
kurang dari 3% dari jumlah ekspor negara tersebut ke negara pengimpor. Tapi
investigasi juga akan tetap berlaku jika produk dumping impor dari beberapa
negara pengekspor secara bersamaan diperhitungkan berjumlah 7% atau lebih memang
Indonesia melakukan Dumping, hanya saja Korsel bisa ditetapkan bersalah karena
tidak melakukan penelitian dan penghitungan seperti yang ditetapkan dalam
ketentuan WTO sehingga suatu negara bisa menetapkan Bea Masuk Anti-dumping.
Pada mulanya harga produk kertas Korsel tinggi dan juga produsen kertas
korsel tidak dapat memenuhi beberapa permintaan pasar. Pada saat itulah masuk
produk kertas Indonesia dengan harga yang lebih murah (termasuk jika
dibandingkan dengan harga di pasar Indonesia) dan juga dengan produk yang
memiliki fungsi / nilai substitusi atas produk kertas yang tidak dapat dipenuhi
produsen kertas korsel, hal ini disebut juga dengan “Like Product”. Karena hal
inilah maka produk kertas Indonesia lebih banyak diminati oleh pasar di Korsel,
sedangkan kertas produk Korsel sendiri menurun penjualannya. Itulah mengapa
Korsel menetapkan BMAD terhadap produk kertas yang masuk dari Indonesia, untuk
melindungi produk dalam negerinya.
Sayangnya Korsel tidak mengikuti ketentuan penetapan Anti-Dumping dalam
WTO, untuk melakukan penyelidikan sebelum menetapkan bea anti dumping. Dalam
keputusan WTO, Indonesia dimenangkan dalam keputusan panel.
Praktek Dumping yang dilakukan China terhadap Amerika
Di Amerika mengalami kenaikan tajam akan barang – barang impor. Terutama
barang – barang yang berasal dari China. Hal ini disebabkan China melakukan
praktek politik dumping terhadap pasar di Amerika. Terutama dalam barang impor
berupa ban yang berasal dari China. Ban yang berasal dari China ini, harganya
di pasaran relatif dibuat lebih murah di Amerika. Hal ini menyebabkan pengusaha
– pengusaha ban di Amerika mengalami kerugian karena ban yang mereka produksi
menjadi kurang laku di pasar. Hal ini menyebabkan Amerika melakukan tindakan
proteksionis untuk melindungi pengusaha – pengusaha ban yang ada di Negara-nya
sendiri. Kebijakan Amerika dengan menerapkan tarif impor lebih mahal untuk
produk barang - barang China. Hal ini dimulai dengan memberikan tarif tambahan
sebesar 35% terhadap ban-ban buatan China selama satu tahun. Kemudian ditambah
dengan tarif impor tambahan sebesar 30% dan 25% dalam dua tahun ke depan. Amerika
juga mencurigai China sengaja menekan nilai tukar Yuan di bawah nilai yang
sebenarnya agar harga ekspor Negara China menjadi murah.
Penyelesaian
Kebijakan Politik Dumping yang dilakukan China terhadap Amerika sangat
merugikan pengusaha ban di Amerika. Jika ini berlanjut akan dapat merusak
hubungan antar kedua Negara. Oleh karena itu, China sudah seharusnya
menghentikan kebijakan yang dilakukannya tersebut. tersebut.
Karena, Amerika juga telah melakukan kebijakan anti dumping, untuk menutup
kerugian yang ditimbulkan, sehingga praktek yang dilakukan China tidak akan
mendapat untung.
Politik Dumping Kertas Yang Dilakukan Indonesia-Korea
Negara-negara berkembang pada umumnya akan membantu industri domestiknya
melalui subsidi atau kebijakkan ekonomi berupa hambatan tariff atau non tariff
untuk memasukkan industrinya ke persaingan internasional apalagi dalam era
Globalisasi teknologi dan informasi seperti sekarang ini, Negara atau
pemerintah akan berusaha mendorong industrinya untuk bersaing di pasar
internasional dan untuk bersaing perlu berbagai perbaikkan kualitas baik tenaga
kerja ataupun produk. Indonesia sebagai Negara berkembang pada umumnya akan
memilih suatu perusahaan domestic untuk di subsidi khususnya industri yang
benar-benar menjadi ekspor Indonesia. Dan selain itu, Indonesia juga mengambil
kebijakkan ekonomi seperti penetapan batasan impor, hambatan tariff dan non
tariff dan kebijakan lainnya. Sama seperti negara lainnya, Korea yang ingin
saya soroti disini juga menetapkan kebijakan ekonomi anti dumping untuk
melindungi Industri domestiknya. Kali ini yang menjadi sasaran negara yang
melakukkan dumping adalah Indonesia.
Sebelum memasuki pembahasan lebih lanjut perlu kita lihat apa saja yang
menjadi kerangka pemikiran untuk melihat masalah ini.
Dalam industri pulp dan kertas campur tangan pemerintah telah menimbulkan
akumulasi kekuatan pasar. Konsentrasi pasar untuk kertas industri meningkat
dari 37 persen menjadi 90 persen antara 1985 dan 1995, sedangkan rasio
konsentrasi untuk pulp, bahan baku utama dari kertas industri, secara konsisten
selalu diatas 90 persen. Pelaku pasar tertentu di sektor kertas dan pulp telah
mendapat keuntungan yang besar dari perlakukan khusus oleh pemerintah di masa
yang lalu. Sebagai contoh, perusahaan kertas PT Kiani Kertas mendapat Rp 250
miliar (US$ 180.70 juta) dari Dana Reboisasi untuk membangun pabrik puld dan
kertas dari PT Kiani Lestari Pulp, yang dibukan awal 1997. Pinjaman ini
merupakan 20 persen dari investasi total. Bunganya adalah sebesar 6.7 persen
dan untuk jangka waktu delapan tahun, termasuk tiga tahun grace period.
Begitu juga kebijakkan pemerintah pada masa orde baru memilih dan
mempermudah perusahaan PT Indah Kiat dari Sinar Mas Group menguasai industri kertas
dari hulu ke hilir. PT Indah Kiat menguasai hutan industri dan menghasilkan
barang mulai dari pulp sampai ke buku tulis, amplop, kertas komputer, kertas
fotokopi, dan barang-barang kertas lainnya. Selain itu, dua anak perusahaan
Sinar Mas, PT Pindo Deli dan PT Paper Onward Utama, menguasai industri kertas
tisu. Dari sini dapat kita lihat bahwa sektor industri kertas sangat dilindungi
terhadap persaingan asing dalam bentuk tarif impor; tingkat proteksi efektif
untuk barang-barang kertas pada tahun 1995 adalah 41 persen.
Untuk mengantisipasi terjadinya perselisihan dan kesalahan interpretasi, akibat tindakan proteksi yang dilakukkan suatu negara dalam mendorong perekonomiannya, maka WTO membuat aturan untuk penerapan subsidi mengingat masalah ini merupakan masalah yang sering terjadi terkait masalah dumping dan terdapat dua macam aturan subsidi atau dukungan
Untuk mengantisipasi terjadinya perselisihan dan kesalahan interpretasi, akibat tindakan proteksi yang dilakukkan suatu negara dalam mendorong perekonomiannya, maka WTO membuat aturan untuk penerapan subsidi mengingat masalah ini merupakan masalah yang sering terjadi terkait masalah dumping dan terdapat dua macam aturan subsidi atau dukungan
1.
Dukungan atau subsidi yang membuat distorsi (trade
distorting subsidies) dimana negara anggota harus menetapkan level maksimum dan
kemudian menguranginya pada tingkat yang diperbolehkan;
2.
Subsidi yang dianggap tidak mendistorsi atau non
trade distorting sering disebut sebagai Green Box, tidak ada jumlah maksimum
yang ditentukan, sehingga Negara anggota boleh menambah tanpa batas. Green Box
merupakan pembayaran untuk misalnya perlindungan lingkungan dan penelitian.
Dalam subsidi yang mendistorsi atau Trade Distorting Subsidies (TDS) terdapat tiga kategori:
Dalam subsidi yang mendistorsi atau Trade Distorting Subsidies (TDS) terdapat tiga kategori:
a) AMS –
aggregate measurement support atau sering disebut Amber Box, ini berkaitan
dengan intervensi harga dan dimasukkan sebagai yang paling mendistorsi.
b) De minimis,
ini diperbolehkan sampai tingkat tertentu yang dihitung dari persentase dari
nilai produksi.
c) Blue Box,
subsidi jenis ini dianggap mendistorsi tapi tidak sebesar Amber Box.
Selain
aturan-aturan tersebut, WTO sendiri juga telah membentuk Dispute Settlement
Body (DSB) untuk mengantisipasi penyelesaian masalah yang terjadi diantara
anggota-anggotanya.
Masalah terkait dengan pemberian subsidi dan kebijakkan proteksi adalah Dumping. Dumping terjadi apabila produk-produk impor tersebut dijual dengan harga lebih rendah daripada harga yang berlaku di pasaran. Untuk menerapkan anti dumping, badan perdagangan suatu Negara harus membuktikan terlebih dahulu bahwa dumping tersebut menyebabkan kerugian terhadap industri di negaranya. Mengingat relatif tingginya kasus dumping, hendaknya negara mencermati dan mengantisipasi serta menghindari kemungkinan adanya tuduhan dumping tersebut. Masalah ini adalah masalah yang sangat sering ditemui seperti di India terbukti melakukan tuduhan dan penyelidikan antidumping atas 425 kasus, di mana 316 kasus dikenakan BMAD, AS melakukan penyelidikan atas 366 kasus dan mengenakan BMAD terhadap 234 kasus. Sementara itu, China melakukan penyelidikan atas 125 kasus di mana 70 kasus di antaranya dikenai BMAD. Turki juga menyelidiki tuduhan praktek dumping 101 kasus bagi pengenaan 86 kasus BMAD. Sementara itu, Korsel mengenakan BMAD terhadap 46 kasus dari 81 kasus dumping yang diselidikinya.
Masalah terkait dengan pemberian subsidi dan kebijakkan proteksi adalah Dumping. Dumping terjadi apabila produk-produk impor tersebut dijual dengan harga lebih rendah daripada harga yang berlaku di pasaran. Untuk menerapkan anti dumping, badan perdagangan suatu Negara harus membuktikan terlebih dahulu bahwa dumping tersebut menyebabkan kerugian terhadap industri di negaranya. Mengingat relatif tingginya kasus dumping, hendaknya negara mencermati dan mengantisipasi serta menghindari kemungkinan adanya tuduhan dumping tersebut. Masalah ini adalah masalah yang sangat sering ditemui seperti di India terbukti melakukan tuduhan dan penyelidikan antidumping atas 425 kasus, di mana 316 kasus dikenakan BMAD, AS melakukan penyelidikan atas 366 kasus dan mengenakan BMAD terhadap 234 kasus. Sementara itu, China melakukan penyelidikan atas 125 kasus di mana 70 kasus di antaranya dikenai BMAD. Turki juga menyelidiki tuduhan praktek dumping 101 kasus bagi pengenaan 86 kasus BMAD. Sementara itu, Korsel mengenakan BMAD terhadap 46 kasus dari 81 kasus dumping yang diselidikinya.
Dumping
dalam hal ini merupakan suatu tindakan melanggar kesepakatan yang telah
disepakati dan diratifikasi oleh subyek hukum Internasional. Yang dimaksud
subyek hukum internasional disini adalah semua subyek hukum yang mengatur
aspek-aspek ekonomi baik yang sifatnya nasional maupun internasional (termasuk
hukum internasional publik dan hukum perdata). Yang merupakan subyek hukum disini
adalah negara yang harus memenuhi syarat sebagai negara yakni memiliki
penduduk, wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan kemampuan melakukan hubungan
diplomatik dengan negara lain, Individu yang statusnya tergantung kepada isi
ketentuan perjanjian yang memberikan kedudukan tersebut karena kemampuan
individu untuk membuat kontrak atau perjanjian ekonomi (bisnis) dengan subyek
hukum lainnya, selain itu Multi national Cooperation (MNCs) dan Organisasi
Internasional (OI) yang memiliki definisi yang melekat pada dirinya untuk
menjadi subyek hukum internasional selain memiliki legal personality yakni
kemampuan untuk melakukan perjanjian atau kontrak dengan seubyek hukum lainnya.
Mengingat dumping terjadi antar anggota WTO yang terdiri dari negara-negara berdaulat berarti terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah ditetapkan di WTO yang menjadi aturan bagi para anggota WTO untuk bertindak mengingat semua yang mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO harus menaati kesepakatan tersebut. Kesepakatan yang terbentuk antar dua pihak atau lebih merupakan sumber hukum internasional yang dapat menjadi sumber Hukum Ekonomi Internasional menurut Pasal 38 Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional selain kebiasaan inetrnasional, prinsip hukum yang diakui oleh negara bangsa, keputusan para hakim dan ajaran ahli hukum.
Mengingat dumping terjadi antar anggota WTO yang terdiri dari negara-negara berdaulat berarti terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah ditetapkan di WTO yang menjadi aturan bagi para anggota WTO untuk bertindak mengingat semua yang mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO harus menaati kesepakatan tersebut. Kesepakatan yang terbentuk antar dua pihak atau lebih merupakan sumber hukum internasional yang dapat menjadi sumber Hukum Ekonomi Internasional menurut Pasal 38 Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional selain kebiasaan inetrnasional, prinsip hukum yang diakui oleh negara bangsa, keputusan para hakim dan ajaran ahli hukum.
Indonesia
merupakan salah satu Negara yang sering menerima tuduhan dumping sejak 2000
sampai Mei 2004 tercatat 102 kasus tuduhan dumping, subsidi, dan safeguard yang
dituduhkan negara mitra dagang Indonesia. Dari jumlah tersebut pihak Indonesia
berhasil mematahkan 40 kasus, sebanyak 49 kasus dikenakan tuduhan, sebanyak 11
kasus dalam proses dan dua kasus dibatalkan. Dengan berhasil mematahkan tuduhan
dumping, subsidi dan safeguard, Indonesia pada 2003 dapat menyelamatkan devisa
ekspor sebesar 136,2 juta dolar AS.
Salah satu
kasus yang terjadi antar anggota WTO yang akan saya soroti adalah kasus antara
Korea dan Indonesia, dimana Korea menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree
copy paper ke Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar.
Tuduhan tersebut menyebabkan Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti
dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga 8,22 persen terhitung 7 November 2003.
dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian.
Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang tahun 2002 mencapai 102
juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar.
Karenanya,
Indonesia harus melakukan yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini,
kasus ini bermual ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping
terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam
uncoated paper and paperboard used for writing dan printing or other grafic
purpose produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commision (KTC) pada
tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti
Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk
sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya
sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BM anti dumping
terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik kertas
Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dana
untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO
tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi
yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan.
Karenanya, Indonesia meminta Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia Panel DSB menilai Korea telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping dari produk kertas Indonesia.
Karenanya, Indonesia meminta Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia Panel DSB menilai Korea telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping dari produk kertas Indonesia.
Berdasarkan pernyataan John H. Jackson dapat disimpulkan bahwa hukum
ekonomi internasional terdiri dari komponen hukum, ekonomi dan tentunya dalam
cakupan Internasional.
Dalam kasus ini, dengan melibatkan beberapa subyek hukum internasional secara jelas menggambarkan bahwa kasus ini berada dalam cakupan internasional yakni dua negara di Asia dan merupakan anggota badan internasional WTO mengingat keduanya merupakan negara yang berdaulat. Dan kasus dumping yang terjadi menjadi unsur ekonomi yang terbungkus dalam hubungan dagang internasional kedua Negara dengan melibatkan unsur aktor-aktor non negara yang berasal dari dalam negeri masing-masing negara yaitu perusahaan-perusahaan yang disubsidi oleh pemerintah untuk memproduksi produk ekspor. Dumping merupakan suatu tindakan menjual produk-produk impor dengan harga yang lebih murah dari harga dan ini merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan WTO. Indonesia meminta bantuan DSB WTO dan melalui panel meminta agar kebijakan anti dumping yang dilakukan korea ditinjau kembali karena tidak konsisten dengan beberapa point artikel kesepakatan seperti artikel 6.8 yang paling banyak diabaikandan artikel lainnyadan Indonesia juga meminta Panel terkait dengan artikel 19.1 dari Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU) untuk meminta Korea bertindak sesuai dengan kesepakatan GATT dan membatalkan kebijakan anti dumping impor kertas yang dikeluarkan oleh mentri keuangan dan ekonominya pada tanggal 7 november 2003.
Yang menjadi aspek legal disini adalah adanya pelanggaran terhadap artikel kesepakatan WTO khususnya dalam kesepakatan perdagangan dan penentuan tariff seperti yang tercakup dalam GATT dan dengan adanya keterlibatan DSB WTO yang merupakan suatu badan peradilan bagi permasalahan-permasalahan di bidang perdagangan. Ini menegaskan bahwa masalah ini adalah masalah yang berada di cakupan Internasional, bersifat legal dan bergerak dalam bidang ekonomi. Sifat legal atau hukumnya terlihat juga dengan adanya tindakan Retaliasi oleh pemerintah Indonesia karena Korea dinilai telah bertindak ‘curang’ dengan tidak melaksanakan keputusan Panel Sementara DSB sebelumnya atas kasus dumping kertas tersebut yang memenangkan Indonesia dimana retaliasi diijinkan dalam WTO. Sekretaris Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Departemen Perdagangan mengatakan dalam putusan Panel DSB pada November 2005 menyatakan Korsel harus melakukan rekalkulasi atau menghitung ulang margin dumping untuk produk kertas asal Indonesia. Untuk itu, Korsel diberikan waktu untuk melaksanakan paling lama delapan bulan setelah keluarnya putusan atau berakhir pada Juli 2006. Panel DSB menilai Korsel telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktik dumping kertas dari Indonesia. Pengenaan tuduhan dumping kertas melanggar ketentuan antidumping WTO. Korea harus menghitung ulang margin dumping sesuai dengan hasil panel maka ekspor kertas Indonesia ke Korsel kurang dari dua persen atau deminimis sehingga tidak bisa dikenakan bea masuk antidumping.
Panel Permanen merupakan panel tertinggi di WTO jika putusan Panel Permanen juga tidak ditaati oleh Korsel, Indonesia dapat melakukan retaliasi, yaitu upaya pembalasan atas kerugian yang diderita. Dalam retaliasi, Indonesia dapat mengenakan bea masuk atas produk tertentu dari Korsel dengan nilai kerugian yang sama selama pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD). Korean Trade Commision yang merupakan otoritas dumping Korsel mengenakan BMAD 2,8-8,22 persen terhadap empat perusahaan kertas, seperti yang telah disebutkan diatas yaitu PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT Indah Kiat Pulp & Paper, dan PT April Fine sejak 7 November 2003. Dalam membuat tuduhan dumping, KTC menetapkan margin dumping kertas dari Indonesia mencapai 47,7 persen. Produk kertas yang dikenakan BMAD adalah plain paper copier dan undercoated wood free printing paper dengan nomor HS 4802.20.000; 4802.55; 4802.56; 4802.57; dan 4809.4816.
Dalam kasus ini, dengan melibatkan beberapa subyek hukum internasional secara jelas menggambarkan bahwa kasus ini berada dalam cakupan internasional yakni dua negara di Asia dan merupakan anggota badan internasional WTO mengingat keduanya merupakan negara yang berdaulat. Dan kasus dumping yang terjadi menjadi unsur ekonomi yang terbungkus dalam hubungan dagang internasional kedua Negara dengan melibatkan unsur aktor-aktor non negara yang berasal dari dalam negeri masing-masing negara yaitu perusahaan-perusahaan yang disubsidi oleh pemerintah untuk memproduksi produk ekspor. Dumping merupakan suatu tindakan menjual produk-produk impor dengan harga yang lebih murah dari harga dan ini merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan WTO. Indonesia meminta bantuan DSB WTO dan melalui panel meminta agar kebijakan anti dumping yang dilakukan korea ditinjau kembali karena tidak konsisten dengan beberapa point artikel kesepakatan seperti artikel 6.8 yang paling banyak diabaikandan artikel lainnyadan Indonesia juga meminta Panel terkait dengan artikel 19.1 dari Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU) untuk meminta Korea bertindak sesuai dengan kesepakatan GATT dan membatalkan kebijakan anti dumping impor kertas yang dikeluarkan oleh mentri keuangan dan ekonominya pada tanggal 7 november 2003.
Yang menjadi aspek legal disini adalah adanya pelanggaran terhadap artikel kesepakatan WTO khususnya dalam kesepakatan perdagangan dan penentuan tariff seperti yang tercakup dalam GATT dan dengan adanya keterlibatan DSB WTO yang merupakan suatu badan peradilan bagi permasalahan-permasalahan di bidang perdagangan. Ini menegaskan bahwa masalah ini adalah masalah yang berada di cakupan Internasional, bersifat legal dan bergerak dalam bidang ekonomi. Sifat legal atau hukumnya terlihat juga dengan adanya tindakan Retaliasi oleh pemerintah Indonesia karena Korea dinilai telah bertindak ‘curang’ dengan tidak melaksanakan keputusan Panel Sementara DSB sebelumnya atas kasus dumping kertas tersebut yang memenangkan Indonesia dimana retaliasi diijinkan dalam WTO. Sekretaris Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Departemen Perdagangan mengatakan dalam putusan Panel DSB pada November 2005 menyatakan Korsel harus melakukan rekalkulasi atau menghitung ulang margin dumping untuk produk kertas asal Indonesia. Untuk itu, Korsel diberikan waktu untuk melaksanakan paling lama delapan bulan setelah keluarnya putusan atau berakhir pada Juli 2006. Panel DSB menilai Korsel telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktik dumping kertas dari Indonesia. Pengenaan tuduhan dumping kertas melanggar ketentuan antidumping WTO. Korea harus menghitung ulang margin dumping sesuai dengan hasil panel maka ekspor kertas Indonesia ke Korsel kurang dari dua persen atau deminimis sehingga tidak bisa dikenakan bea masuk antidumping.
Panel Permanen merupakan panel tertinggi di WTO jika putusan Panel Permanen juga tidak ditaati oleh Korsel, Indonesia dapat melakukan retaliasi, yaitu upaya pembalasan atas kerugian yang diderita. Dalam retaliasi, Indonesia dapat mengenakan bea masuk atas produk tertentu dari Korsel dengan nilai kerugian yang sama selama pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD). Korean Trade Commision yang merupakan otoritas dumping Korsel mengenakan BMAD 2,8-8,22 persen terhadap empat perusahaan kertas, seperti yang telah disebutkan diatas yaitu PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT Indah Kiat Pulp & Paper, dan PT April Fine sejak 7 November 2003. Dalam membuat tuduhan dumping, KTC menetapkan margin dumping kertas dari Indonesia mencapai 47,7 persen. Produk kertas yang dikenakan BMAD adalah plain paper copier dan undercoated wood free printing paper dengan nomor HS 4802.20.000; 4802.55; 4802.56; 4802.57; dan 4809.4816.
Dalam kasus ini, Indonesia telah melakukan upaya pendekatan sesuai
prosedur terhadap Korsel. Pada 26 Oktober 2006 Indonesia juga mengirim surat
pengajuan konsultasi. Selanjutnya, konsultasi dilakukan pada 15 November 2006
namun gagal. Korea masih belum melaksanakan rekalkulasi dan dalam pertemuan
Korea mengulur-ulur waktu. Tindakan Korsel tersebut sangat merugikan industri
kertas Indonesia. Ekspor kertas ke Korsel anjlok hingga 50 persen dari US$ 120
juta. Kerugian tersebut akan berkepanjangan sebab Panel juga menyita waktu
cukup lama, paling cepat tiga bulan dan paling lama enam bulan.
Penyelesaian
Masalah Dumping merupakan masalah ekonomi yang dapat dimasukkan kedalam
kasus hukum ekonomi internasional seperti kasus dumping Korea-Indonesia yang
dimenangkan Indonesia. Namun untuk menghadapi kasus-kasus dumping yang belum
terselesaikan sekarang (lihat table hal.5) maka indonesia perlu melakukkan
antisipasi dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi
industri dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor. Selain
itu, diperlukan penetapkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dalam
rangka proses investigasi praktek dumping (ekspor dengan harga lebih murah dari
harga di dalam negeri) yang diajukan industri dalam negeri. selama ini,
Indonesia belum pernah menerapkan BMADS dalam proses penyelidikan dumping
apapun padahal negara lain telah menerapkannya pada tuduhan dumping yang sedang
diproses termasuk kepada Indonesia. Padahal hal ini sangat diperlukan seperti
dalam rangka penyelidikan, negara yang mengajukan petisi boleh mengenakan BMADS
sesuai perhitungan injury (kerugian) sementara. Jika negara eksportir terbukti
melakukan dumping, maka dapat dikenakan sanksi berupa BMAD sesuai hasil
penyelidikan. Karenannya, pemerintah harus mengefektifkan Komite Anti Dumping
Indonesia (KADI) yang merupakan institusi yang bertugas melaksanakan
penyelidikan, pengumpulan bukti, penelitian dan pengolahan bukti dan informasi
mengenai barang impor dumping, barang impor bersubsidi dan lonjakan impor.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan dari hasil pembahasan dan analisa tersebut di atas
maka praktik dumping merupakan bagian dari tanggung jawab Hukum Perdagangan
Internasional di bawah kendali WTO. Sanksi yang diberikan apabila terbukti
melakukan praktik dumping dikenakan sanksi berupa BMAD, apabila pihak yang
dikenai sanksi keberatan terhadap BMAD maka dapat mengajukan keberatan ke panel
WTO melalui Komisi Antidumping di DSB (Dispute Settlement Body). Sementara
menjual harga di bawah harga pasar seperti yang dilakukan Negara tersebut dalam
kacamata hukum persaingan akan menghambat adanya persaingan sehat. Praktik
dumping dalam jangka pendek menguntungkan konsumen namun pada jangka panjang
akan merugikan industri pesaing yang memiliki industri barang yang sejenis.
Jadi, jika terdapat Negara yang melakukan dumping maka harus segera ditindak
dengan memberi sanksi, sehingga Negara-negara lain tidak akan berani mengikuti
seperti yang telah dilakukan Negara yang melakukan kebijakan itu.
Saran
Lembaga yang berfungsi untuk mengurus masalah-masalah dumping ini, harus
lebih ketat lagi melakukan pengawasan kepada barang-barang dari luar negeri
yang masuk, jika terdapat Negara atau perusahaan yang melakukan dumping maka
harus langsung diberi sanksi berupa BMAD atau BMI kepada Negara atau perusahaan
itu, supaya tidak membuat perusahaan dalam negeri rugi.
Comments
Post a Comment