KASUS ANTARA WTO VS MOBNAS
Kasus WTO dan
Indonesia dalam masalah Mobnas (Mobil Nasional) Timur menujukkan bahwa
organisasi Transnasional (dalam hal ini adalah WTO) bisa mempengaruhi kebijakan
pemerintah Indonesia. Awal mula muncul kasus ini karena inisiatif pemerintah
Indonesia dalam mendukung dan ingin meningkatkan industri mobil nasional. Oleh
karena itu, pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan program Mobil Nasional
yaitu bisa dilihat dalam Inpres No.2 tahun 1996 mengenai Program Mobil Nasional
bahwa sebagai sebuah terobosan di sektor otomotif Indonesia. Tujuan Mobnas
(Mobil Nasional) adalah sebagai embrio kemajuan dan kemandirian bangsa
Indonesia dalam industri otomotif. Program Mobnas ini yang menunjuk PT Timor
Putra Nasional (TPN) sebagai pelopor yang memproduksi Mobnas sayangnya Mobnas
masih belum dapat memproduksi di dalam negeri, maka perlu dikeluarkan Keppres
No. 42 tahun 1996 yang mengizinkan PT TPN mengimpor Mobnas yang kemudian diberi
merek “Timor” (baik dalam bentuk jadi atau completely build-up/ CBU dari Korea
Selatan.
Hal ini
mendatangkan reaksi dari beberapa pihak yaitu Jepang, Amerika Serikat dan
beberapa negara Eropa. Jepang yang paling berusaha keras kerena mempunyai
kepentingan kuat dalam industri otomotifnya yang telah menguasai hampir 90%
pangsa mobil Indonesia. Reaksi lain dari Amerika dan beberapa negara Eropa
gelisah karena mereka berencana menanamkan investasi dalam industri otomotif di
Indonesia. Akhirnya terjadi dialog antara Jepang dan pemerintah Indonesia dan
hasilnya dead lock. Kemudian tindakan lanjutan dari Jepang yaitu melalui Wakil
Menteri Perdagangan Internasional dan Industrinya menyatakan bahwa mereka akan
membawa masalah ini ke WTO.
Maka pada 4
Oktober 1996, Pemerintah Jepang melalui Kementrian Industri dan Perdagangan
Internasional (MITI) resmi mengadukan Indonesia ke WTO yang didasarkan
pasal 22 ayat 1 peraturan GATT. Inti dari pengaduan itu, Pemerintah Jepang
ingin masalah sengketa dagangnya dengan Indonesia diselesaikan sesuai dengan
kesepakatan perdagangan multilateral sesuai dengan aturan yang tercantum dalam
WTO. Ketika itu, jika dalam tempo lima-enam bulan setelah pengaduan ke WTO
belum dapat diselesaikan, maka Jepang akan membawanya ke tingkat yang lebih
tinggi. Setelah enam bulan tidak ada penyelesaian sejak Jepang secara resmi
mengadukan Indonesia ke WTO, tampaknya, ancaman Jepang bukan isapan jempol
belaka. Jepang membawa masalah Mobnas ke panel WTO melalui pembentukan
dispute settlement body (DSB) atau sidang bulanan badan penyelesaian
sengketa. Dengan terbentuknya DSB, maka Jepang berharap masalah Mobnas dapat
dipecahkan dengan jalan terbaik dan adil.
Pembentukan panel dilakukan oleh
DSB, setelah upaya penyelesaian mengalami jalan buntu. Panel yang beranggotakan
3-5 orang inilah yang akan memeriksa pengaduan dan saksi-saksi. Dan dalam tempo
enam bulan, panel akan mengeluarkan rekomendasi yang akan diserahkan kepada
DSB. Di tangan DSB nanti, keputusan hasil panel akan disahkan satu tahun
kemudian.
Namun,
Pemerintah Jepang berharap hubungan bilateral kedua negara tidak terganggu.
Dalam hal program mobnas, menyadari keinginan dan cita-cita Indonesia atas
program tersebut. Jepang tidak mengenyampingkan keinginan tersebut, sepanjang
tidak melanggar peraturan GATT dan WTO. Walau pengaduan telah disampaikan ke WTO,
Pemerintah Jepang tetap membuka peluang melalui jalan bilateral untuk
menyelesaikan soal krusial ini. Meskipun, di badan perdagangan dunia itu,
masalah mobnas akan terus melekat dalam agendanya.
Comments
Post a Comment