PERTEMUAN V : PERJANJIAN UMUM MENGENAI TARIF DAN PERDAGANGAN (GATT)
Secara singkat, GATT atau General
Agreement on Tariffs and Trade didirikan pada tahun 1948. GATT merupakan
sebuah perjanjian umum mengenai tarif dan perdagangan yang diselenggarakan di
Geneva, Swiss. Rezim GATT ini merupakan sebuah bentuk respon terhadap tidak
adanya pengatur yang menyebabkan terjadinya pelanggaran dan diskriminasi dalam
perdagangan internasional. Salah satu prinsip yang diusung oleh rezim ini
adalah adanya most favored nations (MFN). Prinsip tersebut
mengindikasikan adanya perlakuan yang sama pada setiap anggota GATT, termasuk
juga terhadap perdagangan nasional dan perusahaan asing. GATT juga mengusung
prinsip adanya transparansi dan kompetitifitas yang mengharuskan suatu negara
untuk mengetahui kebijakan dalam negara lainnya.
Namun sayangnya rezim GATT hanya
berfokus pada distribusi barang dan kurang memperhatikan aliran jasa yang
terjadi. Sifat ad-hoc juga menjadi boomerang bagi rezim ini, menyebabkan
rezim tidak dapat diikuti secara menyeluruh. Perjanjian yang dihasilkan-pun
hanya mengikat pihak-pihak atau Negara yang bersedia dan memiliki kepentingan
yang sejalan. Kekurangan lain dari rezim ini adalah terdapat pada proses
penyelesaian konflik yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Konflik yang terjadi
hanya dapat diselesaikan secara unilateral karena tidak adanya prosedur
penyelesaian yang dibuat. Untuk menjelaskan transisi dari GATT menuju
WTO, dan juga mengenai perubahan peran negara, tedapat dua teori yang dapat
digunakan, yakni teori materialis dan konstrutivis.
Kemudian pada tahun 1955, para
anggota GATT menginginkan dirubahnya rezim tersebut. GATT secara resmi
digantikan oleh WTO atau World Trade Organization pada Januari 1995
melalui negosiasi multilateral dalam Urugay Round pada tahun 1986 hingga 1994.
Dalam rezim WTO, para anggota mengehndaki tidak adanay hambatan perdagangan
bebas. Di sini posisi Negara berkembang semakin tidak diuntungkan, sementara
kepentingan negara-negara Barat menjadi terwakilkan melalui rezim baru ini.
Ford (2002) menyebutkan hegemoni Amerika Serikat sebagai dalang dibalik
berubahnya rezim tersebut. Perubahan dari GATT menjadi WTO tentu tidak terjadi
begitu saja, melainkan terjadi dalam beberapa tahapan; koordinasi manajemen,
kemunculan interdependensi, dan adanya globalisasi.
Pada mulanya, kepemimpinan dalam
rezim GATT cenderung bergantung pada hegemon. Isu yang diangkat dalam rezim
tersebut juga masih berkutat pada tingginya tariff restriction dan
berusaha untuk menemukan cara agar tariff restriction dapat menjadi
rendah. Kemudian, seiring dengan menurunnya power dari Amerika Serikat
yang dulunya merupakan jangkar pada rezim GATT mencerminkan bahwa perdegangan
tidak lagi didominasi oleh hegemoni Amerika Serikat. Masuklah kemudian pada
fase interdependensi. Salah satu perubahan yang terjadi adalah relokasi
industri, misalnya, dimana terjadi perubahan proses produksi yang bergeser ke
Negara berkembang. Dari sini juga dapat dilihat bahwa fokus yang hanya pada
barang juga kemudian bergeser berfokus juga pada sektor jasa.
Seiring dengan semakin derasnya
aliran globalisasi, perekonomian-pun semakin mengglobal, bentuk-bentuk baru
perdagangan-pun bermunculan. Setelah memasuki tahapan globalisasi, perdagngan
menjadi lebih bersifat trade related, barang hasil produksi merupakan
hasil dari manufaktur. Hal-hal seperti inilah yang menandai perubahan dari GATT
yang bersifat Trade ke WTO yang bersifat Trade Related. (Ford, 2002). Hal lain
yang menandakan berubahnya GATT menjadi WTO dapat dilihat dari proses
pengambilan keputusan, dimana proses yang digunakan pada rezim WTO adalah single
undertaking. Negara yang tidak setuju dengan hasil yang telah dicapai oleh
WTO dianggap telah melakukan pelanggaran dan dianggap sebagai suatu kasus yang
serius. Sanksi terberat jika melakukannya adalah dikeluarkan dari WTO.
Antara rezim GATT dengan rezim WTO
memili dasar yang berbeda. Rezim lama GATT lebih didasarkan oleh politik
kekuasaan, mengingat Amerika Serikat merupakan pihak yang menghegemon dalam
rezim tersebut. Sedangkan rezim WTO lebih didasarkan pada aturan prosedural
yang ketat. Meskipun demikian, kedua rezim ini tetap memiliki nilai kesamaan,
salah satunya adalah proses peroleh hasil keputusan yang melalui negosiasi dan
konsensus. Kedunya juga mengakui regional trade, sebab menganggapnya sebagai
factor yang dapat mendorong terjadinya perdagangan bebas.
Bagi Ford, teoritis materialis
tradisional telah gagal mengenali perubahan bedar yang mengubah peran negara
berkembang dalam negosiasi perdagangan multilateral selama Uruguay Round.
Pada mulanya, negara-negara berkembang menginginkan adalnya liberalisasi
perdegangan, sementara Amerika Serikat dan negara-negara industri utama lebih
memilih kebijakan proteksionisme. Namun pada akhirnya mereka merubah posisi
mereka menjadi pihak oposisi terhadap liberalisasi perdagangan.
Rezim perdagangan merupakan
distribusi ide kolektif tentang perdagangan yang mensosialisasikan perilaku
perdagangan dan sekaligus menjelaskan Negara sebagai actor. (Ford, 2002).
Bentuk rezim perdagangan multilateral yang lama difungsikan untuk
menyeimbangkan komitmen perdagangan antar negara anggota demi tujuan liberal
yang telah ditanamkan. Sedangkan bentuk rezim yang baru memiliki aturan yang
berdasar pada kayakinan bahwa kepentingan negara yang terbaik disajiikan
melalui peningkatan kesejahteraan agregat melalui liberalisasi perdagangan.
Singkatnya, pendekatan tradisional
memahami rezim sebagai kekuatan kelas dan instrumen bagi negara. Kelemahan dari
teori ini adalah terlalu menekankan pada kekuatan negara secara material, meremehkan
peran negara lemah, tingkat perubahan yang terjadi pada rezim, serta tidak
mampu menjelaskan bagaimana negara berkembang dapat memperkuat rezim
perdagangan multilateral. Teori ini juga banyak mengabaikan kenyataan bahwa
semua agen mempengaruhi terjadinya perubahan, melalui tindakan dan struktur
interaksi yang didasari oleh manusia dan juga mereka sendiri sebagai aktor.
(Ford, 2002). Sementara teori strukturalis hegemonic stability memandang
rezim sebagai cerminan dari kekuasaan negara hegemon dan rezim perdagangan
internasional sebagai suprastruktur. Bagi neorealist perubahan rezim hanyalah intrasystemic
dan merupakan keharusan untuk menyeimbangkan kekuatan dalam sistem yang
anarki. Sementara bagi teoritiri neo-marxist Gramscian, perubahan rezim
tersebut mencerminkan perubahan dalam hubungan-hubungan produksi, dan
kontradiksi antara corak produksi dan superstructure. (Ford, 2002 :
119).
Negoisasi perdagangan: dari GATT Hingga WTO
Adam Smith dan David Ricardo → menekankan pada pentingnya mekanisme pasar yang tidak di
intervensi oleh pihak manapun, termasuk negara.
Dibawah kepemimpinan AS sebagai kekuatan hegemonis, rezim perdagangan
internasional kembali digiring kearah liberalisme ekonomi.
Tarif mulai diatur didalam GATT (General
Agreement on Tariffs and Trade) yang mulai dioperasikan sejak januari
1948 dengan seretariatnya di Jenewa.
Maksudnya → forum
perundingan untuk meminimalisir hambatan-hambatan perdagangan (tarif maupun
nontarif) agar perdagangan dunia bisa lebih semarak.
Liberal → merupakan
sebuah justifikasi institusional bagi pemberlakuan prinsip perdagangan bebas
diseluruh dunia.
Tujuan utama GATT → untuk menciptakan kelancaran perdagangan antar bangsa
dengan cara penurunan tarif impor secara gradual.
Naskah asli perjanjian GATT sesungguhnya terdiri dari tiga bagian:
- memfokuskan pada pemberlakuan prinsip nondiskriminasi atau dikenal engan istilah most favoured nation (MFN) yang mewajibkan negara-negara anggota untuk mereduksi tarif impornya bagi semua pihak secara nondiskriminatif.
- mengatur tentang prinsip non-tarif bariers (NTBs) yang mewajibkan anggota untuk sedapat mungkin mengeliminasi hambatan-hambatan nontarif seperti sistem lisensi impor, subsidi, pajak antidumping, dan sebagainya.
- memuat tentang prosedur pengaturan perdagangan termasuk mekanisme penyelesaian konflik perdagangan.
Beberapa kelemahan GATT menurut John Jackson yaitu:
- Pemberlakuan ketentuan-ketentuan di dalam GATT hanya bersifat provisional, yakni tidak mengandung efek hukum yang berarti, sehingga sangat rentan terhadap pelanggaran.
- Ambiguitas dalam mendefinisikan ”kekuasaan” negara-negara penandatanganan berbagai perjanjian, sehingga sulit untuk mewajibkan anggota lain agar mematuhi perjanjian-perjanjian tertentu dimana mereka tidak ikut terlibat di dalam proses perumusannya.
- Ketidak jelasan dalam pemberian pengecualia bagi beberapa anggota untuk tidak mematuhi ketentuan tertentu, terutama soal pemberian status MFN (most favoured nation), GSP (Generalied Standard of Preferences), tarif khusus, dan lain-lain.
- Status legal GATT sendiri yang tidak jelas, apakah sebagai sebuah organisasi, rezim atau sekedar persepakatan sehingga sering menimbulkan salah pengertian dikalangan pejabat negara, media massa, dan bahkan publik secara umum.
- Kelemahan dalam pemberian sanksi terhadap para pelanggar keentuan yang kurang memiliki dasar hukum.
- Tidak adanya struktur kelembagaan yang jelas sehingga efektivitas penanganan berbagai persoalan mendesak menjadi tdak optimal.
Tanggal 1 Januari 1995 WTO (World Trade Organization) berdiri.
Tiga aspek penting dalam penyempurnaan mekanisme pengaturan aktivitas
perdagangan internasional yaitu;
- Peningkatan komitmen negara-negara anggota untuk mendukung beroperasinya sebuah rezim perdagangan internasional.
- Peningkatan kapasitas administatif terutama dalam hal penyelesaian konflik perdagangan antar negara.
- Pemberian wewenang yang lebih besar dalam proses negoisasi pedagangan didalam berbagai forum ekonomi global.
Peraturan-peraturan teknis yang harus dipatuhi agar tercipta stabilitas dan
kelancaran perdagangan internasional yaitu;
- Pengawasan terhadap berbagai hambatan teknis dalam perdagangan.
- Pengaturan sistem lisensi impor.
- Pengaturan sistem penilaian harga barang untuk penetapan tarif bea cukai.
- Peraturan mengenai inspeksi barang sebelum pengapalan.
- Peraturan tentang asal usul suatu barang.
- Pengawasan terhadap TRIMS (Trade-Related Investment Measures).
WTO cenderung memperkuat sistem perdagangan internasional yang terbuka, ada
tiga hal;
- Pertama, para anggota terlibat secara intensif dalam pertukaran informasi, terutama dalam rangka pembuatan berbagai kebijakan perdagangan.
- Kedua, struktur WTO dibuat sedemikian rupa dengan mengacu pada IMF dan Bank Dunia, walaupun tidak persis sama. Tetapi yang lebih penting adalah bahwa kehadiran WTO lebih terintegrasi ke dalam sistem operasi kedua lembaga keuangan internasional.
- Ketiga, dibandingkan dengan GATT, WTO lebih memberikan kepastian melalui upaya klarifikasi terhadap pasal-pasal, klausul-klausul, dan kalimat-kalimat yang mengandung ketidak jelasan dan interpretasi bermacam-macam, terutama yang berkaitan dengan persoalan NTBs
Comments
Post a Comment