Jenis-jenis Bisnis Internasional

Ada peribahasa mengatakan ‘banyak jalan menuju Roma’ setidaknya hal itu sangat berlaku bagi kalangan bisnis baik nasional maupun internasional yang meyakini bahwa ‘banyak pula jalan menuju keuntungan’. Berbisnis di dunia internasional, apalagi di era globalisasi ini sangat mungkin dilakukan oleh setiap orang dengan banyak cara dan model karena dengan adanya globalisasi dan kemajuan terknologi, hubungan dan mobilisasi antarmanusia yang tinggal di kutub yang berlainan dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Pada intinya jarak dan waktu di era globalisasi ini tidak lagi menjadi masalah. Contoh dari bisnis internasional yang sukses memasuki pasar dunia-Indonesia khususnya- adalah handphone Blackberry.
Pada awal mula peluncuran produknya, Blackberry hanya merupakan ponsel biasa yang bentuknya hampir sama dengan merek lain seperti Nokia, Sony Ericson, Xiemens yang hanya memiliki jumlah keypad sedikit. Lalu karena ia dalam bisnis handphone hanya merupakan followers alias cuma ikut-ikutan saja tanpa ada fitur tambahan yang ‘beda’ dengan merek-merek sebelumnya, maka ia gagal menembus pasaran handphone. Selang beberapa tahun kemudian, ia kembali meluncurkan produknya dan kali ini ia berhasil menembus pasaran handphone dengan cara menyediakan bentuk dan fitur handphone yang ‘beda’ dengan yang lain serta mengubah cara orang memakai handphone. Tak pelak lagi konsumen mulai mengenali keistimewaan produk Blackberry ini dan seterusnya Blackberry menjadi trend baru dalam bisnis telfon genggam dan mengalahkan kompetitor lain. Dari contoh diatas dapat dikatakan bahwa di awal, ketika Blackberry hanya menjadi followers dari handphone berbagai merek, kemunculannya tidak banyak mendapatkan apresiasi alias gagal. Namun ketika ia menjadi pioneers dari handphone model ‘qwerty’ ia disambut dengan hangat oleh sejumlah konsumen bahkan sampai sekarangpun belum ada yang mengalahkan ia di bidangnya. Contoh kasus diatas sangat tepat apabila dikaitkan dengan artikel Wild yang mengatakan bahwa ‘…pioner yang dapat bertahan, memegang porsi pasar yang lebih besar daripada kompetitor lain…’. Wild dalam artikelnya juga mengatakan bahwa sebenarnya followers tidak selalu gagal, adakalanya ia berhasil menyaingi pendahulunya dengan catatan jika ia memiliki kecepatatan dan modal yang memadai, selain itu keuntungan menjadi followers adalah ia dapat menghindari resiko yang diemban oleh pioneers dan mengamati apa saja kelemahan dan kekuarangan si pioneer (Wild, Wild, & Han, 2008 : 426). Jadi menurut penulis, untuk memasuki pasar bisnis internasional selalu ada resiko dan keuntungan baik bagi followers maupun pioneers, faktor penempatan waktu dan tempat-lah yang sangat berpengaruh bagi kesuksesan sebuah produk atau jasa (baca: right things on the right time and place). Dari artikel ‘Entry Modes’ dalam buku International Business : The Challenges of Globalization yang ditulis bersama oleh John J. Wild, Kenneth Wild dan Jerry Han dijelaskan bahwa macam-macam variasi bisnis internasional secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yakni yang berbasiskan Equity dan Non-Equity. Untuk yang berbasiskan equity ada tujuh jenis yaitu: 1. Export, terdiri dari dua jenis yaitu Indirect Export yang mengekspor barang dan jasa melalui beberapa macam tipe pangkalan induk ekportir. Dan Direct Export yang bidangnya adalah mengekspor barang atau jasa yang mereka produksi sendiri. Direct Export disini jika ia sudah berkembang pesat dan banyak melayani pelanggan diluar negeri, maka kemudian perusahan (yang memproduksi) tersebut akan membuat sebuah sales company di negara tujuan ekspor, yang tugasnya adalah bertujuan untuk memasarkan barang dan jasa tersebut. 2. Turnkey Project adalah sebuah mekanisme ekspor teknologi, keahlian manajerial, dan sebagian berbentuk perlengkapan modal. Disini yang terlibat adalah pihak kontraktor dimana ia setuju untuk mendesain dan mendirikan sebuah pabrik, menyediakan teknologi pemrosesan, menyuplai bahan mentah yang dibutuhkan dan lain sebagainya serta melatih personel untuk mengoperasikan alat-alat dan teknologi tersebut, sedangkan instansi yang menyewanya hanya tinggal meneruskan dan mengembangkan bisnis tersebut. Contoh, bisnis penyulingan minyak dan produksi baja. 3. Countertrade 4. Licencing adalah pengaturan kontrak yang mana satu perusahaan (the licencor) memberikan akses hak paten, keahlian, prosesur pemasaran, trademarks, rahasia penjualan atau teknologi kepada perusahaan lain (the licencee) untuk mendapatkan bayaran. Besarnya ongkos tergantung bargaining power masing-masing perusahaan dan pihak licencee harus memberikan royalti sebesar 2 sampai 5 persen dari penjualannya sebagai ganti pertolongan (assistance) yang diberikan oleh licencor selama kontrak tersebut masih berlaku. Contoh majalah Cosmopolitan yang terbit di lebih dari 100 negara. 5. Franchising adalah bentuk dari lisensi dimana satu perusahaan (franchisee) melakukan kontrak dengan perusahaan lain untuk mengoperasikan tipe bisnis tertentu dibawah nama perusahaan yang sudah terkenal menurut peraturan yang spesifik. Contohnya adalah McDonald di Indonesia dimana walaupun gerainya milik orang lokal, namun untuk manajemen, produksi dan pengembangan pasarnya masih tetap dikontrol pihak yang memiliki brand tersebut. 6. Contract Manufacturing adalah sejenis pengaturan kontrak dimana satu perusahaan bersedia untuk memproduksi barang bagi perusahaan lain, yang produk tersebut sesuai dengan spesifikasi permintaan perusahaan kedua yang nantinya akan mereka pasarkan sendiri. Contoh, perusahaan air kemasan jawa timur ‘flow’ yang bersedia untuk menyediakan air kemasan bagi Universitas Airlangga Surabaya dengan memakai label Universitas Airlangga sebagai merek air kemasan tersebut. 7. Management Contract adalah pengaturan dimana satu perusahaan menyediakan mekanisme manajemen dalam satu atau semua area kepada perusahaan lain. Contoh jaringan hotel Hilton di dunia yang kepemilikannya kepunyaan orang-orang tertentu yang berlainan namun untuk manajemen hotelnya langsung disediakan oleh jaringan Hilton. (Wild, Wild, & Han, 2008 : 427-430) Sedangkan untuk bisnis internasional yang berbasiskan Non-Equity terdiri dari tiga jenis yaitu : a) Wholly Owned Subsidiary atau dalam bahasa sederhananya adalah cabang perusahaan di luar negeri dimana kepemilikannya bersifat menyeluruh bagi perusahaan tersebut. Wholly Owned Subsidiary ini dapat dicapai dengan cara perusahaan membangun cabang pabrik dari awal, atau mengambil alih kepemilikan perusahaan (akuisisi) lokal dengan begitu ia tidak perlu mulai dari awal dan hanya tinggal mengembangkannya. Akuisisi dan merger (penggabungan perusahaan) ini ternyata seringkali dilakukan oleh perusahaan karena dengan begitu akan lebih menghemat biaya pengembangan dan distribusi produk (Wild, Wild, & Han, 2008 : 431). b) Joint Venture adalah usaha kerjasama antara dua atau lebih perusahaan yang berbagi kepentingan yang sama dalam sebuah perusahaan bisnis atau pelaksanaannya. Secara garis besar menurut Wild, ada empat bentuk joint venture; 1) suatu entitas perusahaan yang dibentuk oleh perusahaan internasional (skala besar) dan pemilik lokal, 2) sebuah entitas perusahaan yang dibentuk oleh dua perusahaan internasional, 3) entitas perusahaan yang dibentuk oleh agen pemerintah dan perusahaan internasional, dan 4) kerjasama antara dua atau lebih perusahaan untuk melaksanakan suatu proyek yang terbatas seperti proyek pembangunan jalan tol dan bandara udara. Ada banyak keuntungan dalam menjalankan join venture ini diantaranya ialah, ia menawarkan komitmen finansial dan sumber pengaturan yang lebih ringan dan mudah karena ditanggung bersama (walaupun porsinya beda) diantara partner, serta resiko yang dibawa oleh joint venture lebih kecil. Namun kerugian dari melakukan joint venture ini adalah pertama keuntungannnya harus dibagi, kedua apalagi jika ada peraturan pemerintah setempat yang mengharuskan partisipasi perusahaan luar tidak lebih dari 49% dan jika ditambah dengan sempitnya atau ketiadaan pasar modal di negara tersebut para pemegang saham tentunya akan kesulitan untuk mengembangkan dan menjual saham mereka. Pada intinya semua kelemahan ini bermuara pada satu masalah yakni para pemegang saham atau perusahaan asing ingin mendapatkan kontrol yang lebih besar atas aset yang mereka miliki (Wild, Wild, & Han, 2008, p. 434). Joint venture, walaupun kelihatannya cukup membatasi gerak perusahaan asing, namun tak dapat dipungkiri bahwa ia merupakan bentuk kerjasama yang menguntungkan, buktinya masih banyak perusahaan yang melakukan mekanisme ini walaupun beberapa negara mensyaratkan harus ada partisipasi lokal, bahkan tanpa disuruhpun ada perusahaan yang mencari partner lokal guna memudahkan pemasaran produk mereka di negara tersebut. Hal ini dilakukan oleh perusahaan asing agar nasionalisme warga negara setempat tidak tersulut dan menolak perusahaan tersebut, disamping itu di beberapa negara berkembang seringkali masyarakatnya tidak senang dengan keberadaan perusahaan asing karena dianggap mengeksploitasi mereka. Meskipun ketentuan partisipasi perusahaan asing hanya dibolehkan tidak lebih dari 49 persen, namun perusahaan asing tersebut pada kenyataannya dapat memperoleh kontrol yang lebih besar terhadap investasi mereka dengan cara bekerjasama dengan ‘sleeping partner’ seperti agen pemerintah, perusahaan asuransi, dan institusi finansial dimana fokus mereka hanyalah mendapatkan keuntungan dan alih-alih menyerahkan seluruh manajemen perusahaan ke partner asing mereka. Atau kontrol dapat juga diperoleh dengan mekanisme manajemen kontrak (Wild, Wild, & Han, 2008, pp. 433-435), yang mana nantinya para ahli (terutama di posisi manajer produksi dan teknik) dari partner asing inilah yang nantinya akan mengatur jalannya perusahaan joint venture bukan pemilik besar saham. c) Strategic Alliances adalah bentuk pertnership atau persekutuan antara kompetitor, pelanggan, atau suppliers yang melibatkan satu atau bermacam-macam bentuk baik equity atau non equity. Tujuan dari stategi aliansi ini adalah untuk mempercepat proses masuk pada pasar internasional dan memantapkan posisi awal perusahaan, untuk mendapatkan akses produk terbaru, teknologi, pasar, dan pembagian biaya produksi, sumber daya dan resiko (Wild, Wild, & Han, 2008 : 435). Referensi : Wild, J. J., Wild, K. L., & Han, J. C. (2008). Entry Modes. In International Business : The Challenges of Globalization (pp. 424-443). New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Comments

Popular posts from this blog

LINGKUNGAN DOMESTIK, ASING DAN INTERNASIONAL

STRATEGI HARGA INTERNASIONAL/GLOBAL

LATIHAN SOAL BISNIS INTERNASIONAL SEMESTER GENAP 2019