BAB III ETIKA BISNIS INTERNASIONAL

Berulang kali dapat kita dengar bahwa kini kita hidup dalam era globalisasi ekonomi: kegiatan ekonomi mencakup seluruh dunia, sehingga hampir semua negara tercantum dalam “pasar” sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang surutnya pasar ekonomis. Gejala globalisasi ekonomi ini bisa berakibat positif maupun negatif. Disatu pihak globalisasi dapat meningkatkan rasa persaudaraan dan kesetiakawanan antara bangsa-bangsa dan dengan demikian melanjutkan tradisi perdagangan internasional sejak dulu. Di lain pihak, gejala yang sama bisa berakhir dalam suasan konfrontasi dan permusuhan, kerna mengakibatkan pertentangan ekonomi dan perang dagang, melihat kepentingan-kepentingan raksasa yang di pertaruhkan di situ.
Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok sekarang ini menampilkan juga aspek etis yang baru. Tidak mengherankan jika terutama tahun-tahun terakhir ini diber perhatian khusus kepada aspek-aspek etis dalam bisnis internasional. Dalam bab ini akan dibaha beberapa masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional.
Pengertian atau definisi mengenai etika. Secara etimologis, kata “etika” berasal dari kata Yunani “ethos” (jamak : ta etha), yang berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”.
Dari pengertian ini, etika berkaitan dengan kebiasaan dan tata cara hidup yang baik yang dianut suatu masyarakat dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Etika secara lebih luas dipahami sebagai pedoman bagaimana manusia harus hidup, dan bertindak sebagai orang yang baik. Etika memberi petunjuk, orientasi, arah bagaimana harus hidup secara baik sebagai manusia.


Etika sebagai suatu ilmu dapat dibagi dua, yaitu kajian yang bersifat   normatif (normative study) dan kajian yang bersifat deskriptif (descriptive study). Kajian yang bersifat normatif merupakan investigasi yang mencoba untuk memperoleh kesimpulan mengenai apakah sesuatu baik atau buruk dan apakah suatu tindakan benar atau salah. Misalnya, terkait dengan pertanyaan : “Apakah penyuapan di dunia bisnis, baik atau buruk?”.

Untuk menjawab itu, ahli etika akan mencari jawabnya berdasarkan kajian normatif dengan menggunakan berbagai teori yang ada, dan menyimpulkan apakah penyuapan di dunia bisnis baik atau buruk.
Sedangkan kajian yang bersifat deskriptif merupakan investigasi yang tidak mencoba untuk mencapai suatu kesimpulan mengenai baik dan buruk atau benar dan salah. Hal ini misalnya dilakukan oleh ahli anthropologi yang mempelajari standar moral dari suatu suku bangsa. Mereka   akan mencoba untuk menjelaskan secara akurat mengenai standar moral dari suku bangsa tersebut dengan menggunakan berbagai teori, akan tetapi bukan tujuan mereka untuk memberikan penilaian apakah moral dari suku bangsa tersebut baik atau buruk.


Teori Etika
Terdapat tiga teori mengenai etika, yaitu
  1. Teori deontologi,   
  2. Teori teleologi dan 
  3. Teori etika keutamaan.
1. Teori Deontologi
Menurut teori ini, cara bertindak dalam suatu situasi   tertentu adalah melakukan apa yang menjadi kewajiban sebagaimana terungkap dalam norma dan nilai-nilai moral yang ada. Suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan tersebut sesuai atau tidak dengan kewajiban. Suatu tindakan dianggap baik karena tindakan tersebut memang baik pada dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang harus kita lakukan. Sebaliknya, suatu tindakan dinilai buruk secara moral karena tindakan tersebut memang buruk secara moral sehingga tidak menjadi kewajiban untuk kita melakukannya.

2. Teori Teleologi
Teori Etika teleologi menjawab pertanyaan bagaimana bertindak dalam situasi   tertentu dengan melihat tujuan atau akibat dari suatu tindakan, atau dengan kata lain   menilai baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan atau akibat dari tindakan tersebut. Dalam suatu situasi tertentu, tindakan yang harus dipilih adalah   tindakan yang membawa akibat yang baik, karena suatu tindakan dinilai baik apabila bertujuan baik dan mendatangkan akibat baik. Etika teleologi lebih bersifat situasional dan subyektif, dimana tindakan seseorang tergantung dari penilaiannya terhadap akibat dari tindakan tersebut. Apabila dianggap baik, suatu tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan norma atau nilai moral yang berlaku dapat dilakukan.

3. Teori Etika Keutamaan

Teori ini mendasarkan penilaian moral pada pengembangan karakter moral pada diri setiap orang. Nilai moral muncul bukan dalam bentuk aturan berupa larangan atau perintah, akan tetapi dalam bentuk teladan moral yang nyata dipraktikkan oleh tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat. Menurut teori ini, cara bertindak secara moral di dalam situasi konkirt yang dilematis adalah meneladani sikap dan perilaku moral tokoh-tokoh yang kita kenal, baik dalam masyarakat, sejarah atau cerita yang kita ketahui, ketika mereka menghadapi situasi serupa.

Pengertian Etika Bisnis

Secara umum etika bisnis dapat didefinisikan sebagai suatu standar atau prinsip moral yang diterapkan di dalam lembaga atau organisasi bisnis dan perilaku yang dapat diterima (benar) atau tidak dapat diterima (salah) dari orang-orang yang bergerak di dunia bisnis. Sedangkan, etika bisnis internasional terkait dengan standar moral yang diterapkan di dalam kegiatan bisnis internasional.

Pentingnya Etika Bisnis Internasional
Perspektif makro bagi perusahaan multinasional:
  1. Menghindari konflik dengan karyawan akibat perbedaan budaya.
  2. Mengurangi kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh pihak perusahaan asing.
  3. Menghindari eksploitasi berlebihan oleh pihak perusahaan.
  4. Melindungi norma yang disepakati oleh kedua belah pihak
Permasalahan Etika Bisnis Dalam Bisnis Internasional
  • Pertanyaan terkait moral mengenai apakah suatu tindakan baik atau buruk, benar atau salah, seringkali menjadi dilema di dalam kegiatan bisnis internasional. 
  • Penilaian terhadap suatu tindakan terkait bisnis yang dianggap baik atau buruk dan benar atau   salah seringkali berbeda di antara satu negara dengan negara lainnya. Bahkan di dalam suatu negarapun penilaian ini sering berbeda dikarenakan perbedaan di dalam budaya dari masyarakatnya.
  • Di samping faktor budaya, perbedaan pandangan ini juga sering dipengaruhi oleh sistem perekonomian dan sistem pemerintahan suatu negara, disamping kepercayaan dan agama yang ada di masyarakat.
Permasalahan etika bisnis dapat muncul di berbagai aspek bisnis internasional.
  1. Dalam bidang produksi, misalnya muncul permasalahan etika terkait perusahaan dengan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial, penggunaan binatang untuk uji coba obat-obatan baru, cara transportasi ternak, dan diketemukannya teknologi baru seperti produk transgenik atau genetically modified product dan cloning.
  2. Dalam bidang pemasaran, misalnya muncul permasalahan etika terkait pelaksanaan promosi (seperti adanya unsur sex dalam advertising), pemasaran langsung di sekolah, dan advertising yang menyesatkan dengan tidak memberikan informasi produk yang sebenarnya.
  3. Dalam bidang keuangan, misalnya terkait insider trading, pembayaran yang sangat besar terhadap CEO perusahaan sebagai excutive compensation, dan pembuatan laporan keuangan yang tidak benar.
Prinsip-prinsip Etika Bisnis
Dewasa ini, perusahaan-perusahaan bisnis internasional, terutama yang besar, pada umumnya sudah memiliki pedoman etika bisnis di dalam perusahaannya.

  • Kode etik internasional pertama di bidang bisnis adalah ”The Caux Round-Table Principles for Business” yang disepakati pada tahun 1994 oleh   eksekutif puncak dari berbagai perusahaan multinasional dari Jepang, Eropa dan Amerika Serikat (seperti Matsuhita, Philips, Ciba-Geigy, Cummins, 3M dan Honeywell). 
  • Prinsip Caux berakar pada dua nilai ideal dasar dalam etika, yaitu konsep Jepang “kyosei” yang berarti hidup dan bekerja bersama-sama demi kesejahteraan umum, dan konsep barat “human dignity” (martabat manusia) yang mengacu pada kesucian atau bernilainya setiap pribadi sebagai tujuan, tidak semata-mata sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan-tujuan orang lain atau bahkan untuk melaksanakan kehendak mayoritas.
Prinsip-prinsip umum dari ”The Caux Round-Table Principles for Business” adalah sebagai berikut (dikutip dari Nugroho, 2001):
  1. Prinsip 1. Tanggung Jawab Bisnis Dari “Shareholders” ke “Stakeholders”, Nilai organisasi bisnis bagi masyarakat ialah kekayaan dan lapangan kerja yang diciptakannya serta produk dan jasa yang dipasarkan kepada konsumen dengan harga wajar yang sebanding dengan mutu. Untuk mampu menciptakan nilai itu, sebuah organisasi bisnis haruslah mempertahankan kesehatan dan kelangsungan hidupnya, namun kelangsungan hidup bukanlah tujuan yang mencukupi. Bisnis memainkan peranan untuk meningkatkan kehidupan semua pelanggan, karyawan dan pemegang saham dengan membagikan kekayaan yang diciptakannya. Para pemasok dan pesaingpun berharap bahwa organisasi-organisasi bisnis menghormati kewajiban-kewajiban mereka dengan semangat kejujuran dan keadilan. Sebagai warga yang bertanggung jawab dari komunitas lokal, nasional, regional dan global dimana mereka beroperasi.
  2.  Prinsip 2. Dampak Ekonomis dan Sosial dari Bisnis : Menuju Inovasi, Keadilan dan Komunitas Dunia
    Organisasi-organisasi bisnis yang didirikan di luar negeri untuk membangun, memproduksi atau menjual juga harus memberi sumbangan pada pembangunan sosial negara-negara itu dengan menciptakan lapangan kerja yang produktif dan membantu meningkatkan daya beli warga negara setempat. Organisasi-organisasi bisnis harus juga menyumbang pada hak-hak azasi manusia, pendidikan, kesejahteraan dan vitalisasi negara-negara tempat mereka beroperasi.
    Organisasi-organisasi bisnis harus menyumbang pada pembangunan ekonomi dan sosial tidak hanya di negara-negara tempat mereka beroperasi, tetapi juga bagi komunitas dunia pada umumnya, melalui penggunaan sumber-sumber secara efektif dan bijaksana, kompetisi yang bebas dan adil, serta penekanan pada inovasi di bidang teknologi, metode-metode produksi, pemasaran dan komunikasi.
  3. Prinsip 3. Perilaku Bisnis : Dari Hukum Tersurat ke Semangat Saling Percaya
    Dengan tetap mengakui keabsahan rahasia-rahasia dagang, organisasi-organisasi bisnis haruslah menyadari bahwa kelurusan hati, ketulusan, kejujuran, sikap memegang teguh janji, dan transparansi, bermanfaat tidak hanya bagi kredibilitas dan stabilitas bisnis sendiri, tetapi juga bagi kelancaran dan efisiensi transaksi-transaksi bisnis, khususnya pada tingkat internasional.
  4. Prinsip 4. Sikap Menghormati Aturan
    Untuk menghindari konflik-konflik dagang dan untuk menggalakkan perdagangan yang lebih bebas, kondisi-kondisi adil dalam persaingan, perlakuan yang seimbang dan adil bagi seluruh partisipan, organisasi-organisasi bisnis wajib menghormati aturan-aturan internasional dan domestik. Disamping itu, bisnispun harus menyadari bahwa perilaku-perilaku tertentu, biarpun tidak melanggar aturan, tetap saja dapat menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan.
     
  5. Prinsip 5. Dukungan Bagi Perdagangan Multilateral, Organisasi-organisasi bisnis wajib mendukung sistem perdagangan multilateral dari GATT/WTO serta kesepakatan-kesepakatan internasional serupa. Mereka wajib bekerja sama dalam upaya-upaya untuk memajukan liberalisasi perdagangan yang progresif dan sesuai dengan akal sehat dan untuk mengendurkan ketentuan-ketentuian domestik yang secara tidak masuk akal menghambat perniagaan global, dengan tetap menghormati tujuan-tujuan kebijaksanaan nasional. 
  6. Prinsip 6. Sikap Hormat Bagi Lingkungan Alam, Bisnis wajib melindungi dan, dimana mungkin, meningkatkan lingkungan alam, mendukung pembangunan yang berkelanjutan, dan mencegah terjadinya pemborosan sumber-sumber daya alam.
  7. Prinsip 7. Menghindari Operasi-Operasi Yang Tidak Etis
    Bisnis wajib untuk tidak berpartisipasi dalam atau menutup mata terhadap penyuapan, pencucian uang (money laundering), atau praktek-praktek korup lainnya, bahkan bisnis wajib untuk menjalin kerjasama dengan pihak-pihak lain untuk membasmi praktek-praktek itu. Bisnis wajib untuk tidak memperdagangkan senjata atau barang-barang lain yang diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan teroris, perdagangan obat bius, atau kejahatan terorganisasi lainnya.


Norma-Norma Moral yang Umum Pada Taraf Internasional?
Richard De George menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang harus kita lakukan jika di bidang bisnis norma-norma moral di negara lain berbeda dengan norma-norma yang kita anut, yaitu:
  1. Menyesuaikan diri
Seperti peribahasa Indonesia: “Dimana bumi berpijak, disana langit dijunjung”. Maksudnya adalah kalau sedang mengadakan kegiatan ditempat lain bisnis harus menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di tempat itu. Diterapkan di bidang moral, pandangan ini mengandung relativisme ekstrem.
  1. Rigorisme moral
Yang di maksud dengan rigorisme moral adalah mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di negeri sendiri. De George mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya boleh melakukan apa yang boleh dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di tempat lain. Kebenaran yang dapat ditemukan dalam pandangan rigorisme moral ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral kita. Norma-norma etis memang bersifat umum. Yang buruk di satu tempat tidak mungkin menjadi baik dan terpuji di tempat lain.
  1. Imoralisme naif
Menurut pandangan ini, dalam bisnis internasional tidak perlu kita berpegang pada norma-norma etika. Memang kita harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum tetapi selain itu, kita tidak terikat oleh norma-norma moral. Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada dalam posisi yang merugikan, karena daya saingnya akan terganggu. Perusahaan-perusahaan lain yang tidak begitu scrupulous dengan etika akan menduduki posisi yang lebih menguntungkan. Sebagai argumen untuk mendukung sikap itu sering dikemukakan: “semua perusahaan melakukan hal itu”.

10 aturan internasional yang mengatur keberlangsungan Korporasi Multinasional (KMN) : ( George Rule)
  1. Korporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian langsung.
  2. Korporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian bagi negara dimana mereka beroperasi.
  3. Dengan kegiatannya korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi kepada pembangunan negara di mana ia beropeasi.
  4. Korporasi multinasional harus menghormati Hak Asasi Manusia dari semua karyawannya.
  5. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, korporasi multinasional harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya, bukan menentangnya.
  6. Korporasi multinasional harus membayar pajak yang fair.
  7. Korporasi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam mengembangkan dan menegakan background institutions yang tepat.
  8. Negara yang memiliki banyak mayoritas saham sebuah perusahaan harus memikul tanggung jawab moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut.
  9. Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang beresiko tinggi, ia wajib supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.
  10. Dalam mengalihkan teknologi beresiko tinggi kepada negara berkembang, korporasi multinasional wajib merancangkembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman dalam negara baru yang belum berpengalaman.

Lingkungan Perusahaan

1. Stockholders
  • Para pemegang saham dalam sebuah perusahaan dikenal juga dengan sebutan stockholders. Pemegang saham mendapatkan bagian tertentu dari hasil saham yang dijual oleh perusahaan yang telah melakukan listing di bursa saham.
  • Perusahaan pada umumnya memiliki tujuan memperoleh keuntungan yang maksimal dengan penggunaan biaya yang minimal.
  • Sebelum etika bisnis menjadi perhatian dalam lingkungan perusahaan. Banyak cara-cara dilakukan agar perusahaan dapat memperoleh keuntungan yang besar tanpa harus memikirkan keadaan sekitar atau dampak dari proses industri terhadap lingkungan.
  • Seiring dengan kemajuan pola pikir manusia, hal tersebut menjadi sebuah pemikiran yang harus dicari jalan keluarnya. Pengrusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan atau industri memunculkan gerakan-gerakan sadar lingkungan yang dibentuk oleh sekelompok orang untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan yang lebih parah oleh para pelaku industri.

2. Stakeholders
  • Istilah ini muncul dari asal kata stockholders. Dimana bentuk kata ini timbul sebagai kritikan dasar atas tindakan perusahaan yang terlalu mementingkan kepentingan pemegang saham.
  • Stakeholders merupakan pihak-pihak yang terkait dengan kepentingan perusahaan.
  • Stockholders sendiri merupakan bagian daripada stakeholders.
  • Para pemegang saham sendiri sebagai pemilik kepentingan diperusahaan menginginkan perusahaan nya untuk selalu memberikan kinerja maksimal yang ditunjukkan melalui perolehan profit perusahaan.
  • Dengan profit yang ada, maka para pemegang saham akan mendapatkan pembagian dividen yang besar pula. Karena dengan membeli saham sebuah perusahaan, maka para pemegang saham tentu mengharapkan pembagian dividen sebagai hasil keuntungan perusahaan.
3. Whisteblowing
Dalam lingkungan perusahaan juga dikenal salah satu tindakan yang berkaitan dengan pelaksanaan etika bisnis.
  • Whistle-blowing merupakan sebuah tindakan yang dilakukan oleh perorangan untuk memberitahukan informasi tertentu kepada masyarakat atau pihak yang berwenang untuk melakukan tindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan oleh perusahaan terkait.
  • Pada dasarnya whistle-blower melakukan tindakan yang bertujuan untuk menghentikan atau meluruskan kembali arah dan tujuan perusahaan tempat nya bekerja.
  • Perorangan ini berpendapat bahwa tindakan atau kegiatan yang dilakukan perusahaan nya sudah melampaui batas-batas etika dan tujuan dari perusahaan sudah melenceng dari yang sebelumnya.
    Mengabaikan sejumlah peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh pihak berwenang (regulasi pemerintah) dan juga mengabaikan keselamatan karyawan atau masyarakat sekitar menjadi dasar munculnya tindakan whistle-blowing.
Whistle-Blower
1. Lingkungan Internal
Dalam lingkungan internal kasus whistle-blowing sering terjadi ketika perusahaan sudah mulai mengabaikan keselamatan para karyawannya hanya untuk menekan biaya produksi.
Pada umumnya tindakan ini dilakukan oleh perorangan yang merasa bahwa apa yang dilakukan oleh perusahaan sudah tidak sesuai dengan standar keselamatan pekerja dan juga hal tersebut dibiarkan berlarut-larut oleh perusahaan dan bahkan terburuknya sampai jatuh korban.
Contoh:
Dalam perusahaan industri kimia, pengolahan proses produksi selalu berkaitan dengan bahan kimia yang berbahaya. Standar pekerja berada dalam ruangan tertentu yang bersentuhan langsung dengan produk kimia berbahaya adalah 4-6 jam dalam ruangan, setelah kurun waktu tersebut pihak perusahaan harus melakukan pergantian jam kerja dengan karyawan lain.
Munculnya biaya yang lebih besar karena pergantian jam kerja tersebut membuat perusahaan enggan melakukannya, bahkan memaksa karyawannya untuk tetap bekerja secara terus menerus tanpa pergantian.


2. Lingkungan Eksternal
Dalam ruang lingkup eksternal biasanya terkait dengan hasil buangan industri, baik itu berupa limbah cair yang dibuang ke lingkungan sekitar atau berupa polusi udara yang dihasilkan oleh perusahaan terkait.
Whistle-blower melihat situasi dimana tindakan yang dilakukan oleh perusahaan dalam mengolah hasil buangan industri tidak sesuai dengan yang telah diatur oleh regulasi pihak berwenang.
Tindakan ini bahkan sudah menimbulkan dampak yang sangat berbahaya bagi lingkungan, misalnya pencemaran sumber air, polusi udara yang sampai pada tingkat yang membahayakan lingkungan dan masyarakat sekitar.

Menurut Tim Barnett (1992) ada beberapa kebijakan minimum yang harus terpenuhi dalam tindakan whistleblowing:
  1. Pernyataan yang jelas bahwa karyawan yang mengetahui kemungkinan kesalahan dalam organisasi memiliki tanggung jawab untuk mengungkapkan informasi tersebut kepada pihak-pihak yang sesuai di dalam organisasi;
  2. Penunjukan individu atau kelompok tertentu di luar rantai komando organisasi sebagai penerima keluhan
  3. Jaminan bahwa karyawan dengan itikad baik bersedia mengungkapkan kesalahan yang dilakukan oleh organisasi kepada pihak-pihak penerima keluhan di dalam organisasi akan terlindungi dari konsekuensi pekerjaan yang merugikan;
  4. Pembentukan proses investigasi yang adil dan tidak memihak
Kepentingan praktis dalam tindakan whistleblowing: (Tim Barnett:1992)1. Ketidakmampuan dalam melakukan kesalahan.
Seorang eksekutif, berbicara tentang kebijakan apa yang dimiliki perusahaannya tentang whistleblowing:
"Kami tidak memiliki aturan apapun tentang itu, kami tidak memerlukannya di perusahaan kami, karena tidak ada yang melakukan kesalahan disini."
Hal ini tentunya merupakan pandangan yang naif mengingat apa yang kita pahami tentang keadaan perilaku etis dalam bisnis dan pemerintahan. Sebuah kesalahan, hampir pasti akan terjadi dan dari kesalahan tersebut ada karyawan yang ingin berusaha menghentikannya. Aturan Whistleblowing yang menyediakan mekanisme perlindungan menjadi penting bagi karyawan yang ingin mempertahankan kondisi etika yang baik dalam perusahaan.

 
 2. Meningkatnya kesadaran terhadap whistleblowing.Ada beberapa hal yang dianggap sebagai alasan meningkatnya tindakan whistleblowing:
  • Pertama, permasalahan tindakan tidak etis yang sering terjadi dalam lingkungan bisnis dan pemerintah.
  • Kedua, masyarakat percaya bahwa dengan melakukan whistleblowing merupakan tindakan untuk meningkatkan perilaku yang lebih etis.
  • Ketiga, kompleksitas dalam dunia bisnis yang semakin beragam.
 3. Tindakan balas dendam semakin tidak efektif.
  • Organisasi yang melakukan tindakan hukuman atau membujuk karyawan untuk tetap diam atau tidak melakukan apa-apa ketika melihat hal-hal yang bertentangan dengan etika, hanya akan mendapatkan perlawanan dari karyawan bersangkutan. Karyawan akan mencari cara untuk bisa mengungkapkan pelanggaran-pelanggaran tidak etis yang sudah dilakukan oleh perusahaan, sehingga perbuatan perusahaan untuk membalas karyawan yang melakukan hal tersebut akan berakhir sia-sia.
 4. Potensi untuk perubahan secara internal.
  • Kebijakan whistleblowing menawarkan kesempatan untuk perubahan secara internal terhadap isu-isu sensitif. Karyawan yang memberikan laporan terkait isu-isu atau masalah etika secara internal terlebih dulu akan memberi organisasi kesempatan untuk menyelidiki masalahnya secara internal sebelum muncul keluar. Jika hasil penyelidikan secara internal mampu mengungkapkan masalah yang ada dan mampu diselesaikan secara internal, maka hal ini akan jauh lebih baik bagi organisasi daripada masalah yang ada sampai ke publik.

Etika dan Profit
 
  • Etika dan profit merupakan sebuah hubungan yang tidak biasa dan cenderung dianggap bersebrangan.
  • Dalam konsep bisnis maksimalisasi profit merupakan tujuan utama yang harus dicapai oleh perusahaan, sedangkan keterlibatan etika hanya akan mengurangi keuntungan perusahaan.
  • Pandangan ini tentu berlaku bagi perusahaan-perusahaan yang hanya memikirkan profit sebagai target utama mereka, dan kebanyakan perusahaan yang menggunakan cara-cara tidak etis dalam jangka panjang akan mengalami kerugian bahkan sampai kepada arah kebangkrutan. 
  • Perusahaan harus mulai mengurangi kebiasaan yang hanya fokus pada mencari keuntungan semaksimal mungkin dalam laporan keuangannya. 
  • Barrack obama menyampaikan dalam sesi pidatonya dengan para petinggi perusahaan di Amerika yaitu: “Sebagai seorang direktur utama dalam perusahaan, kita harus mulai berhenti mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti, Apakah ini menguntungkan kita?; atau, Apakah ini akan menambah bonus untuk kita?; tapi mulailah bertanya, Apakah tindakan ini benar?” 
  • Hal ini tentunya sudah menjadi pandangan umum bahwa para pelaku bisnis selalu berusaha memaksimalkan keuntungan yang ada, dan etika menjadi hal yang dianggap tidak sejalan dengan konsep keuntungan, sehingga etika seperti menjadi barang mahal dalam dunia bisnis.
Beberapa contoh kegiatan bisnis yang dilakukan oleh perusahaan yang hanya mengutamakan keuntungan :
Menggunakan tenaga kerja dibawah umur (tidak sesuai UUD)
• Diskriminasi tenaga kerja
• Tidak menjamin keselamatan kerja
• Upah dibawah ketentuan
• Kelayakan tempat kerja   


Tidak hanya pihak perusahaan, pihak karyawan pun kerap melakukan tindakan tidak etis yang dapat merugikan perusahaan.
Contoh kegiatan tidak etis karyawan yang merugikan perusahaan:
Menggunakan fasilitas kantor untuk keperluan pribadi
• Memalsukan angka pada sebuah transaksi (mark up harga)
• Memalsukan kualitas barang dengan yang seharusnya
• Transaksi gelap dengan vendor perusahaan



Aspek-Aspek Etis Dari Korporasi Multinasional
Yang dimaksud dengan korporasi multinasional adalah perusahaan yang mempunyai investasi langsung dalam dua negara atau lebih. Jadi perusahaan yang mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri, dengan demikian belum mencapai status korporasi multinasional (KMN), tetapi perusahaan yang memiliki pabrik di beberapa negara termasuk di dalamnya. Kita semua mengenal KMN seperti Coca-Cola, Johnson & Johnson, AT & T, General Motors, IBM, Mitsubishi, Toyota, Sony, Philips, Unilever yang mempunyai kegiatan di seluruh dunia dan menguasai nasib jutaan orang.
Karena memiliki kekuatan ekonomis yang sering kali sangat besar dan karena beroperasi di berbagai tempat yang berbeda dan sebab itu mempunyai mobilitas tinggi, KMN  menimbulkan masalah-masalah etis sendiri. Di sini kita membatasi diri pada masalah-masalah yang berkaitan dengan negara-negara berkembang. Tentu saja, negara-negara berkembang sudah mengambil berbagi tindakan untuk melindungi diri. Misalnya, mereka tidak mengijinkan masuk KMN yang bisa merusak atau melemahkan suatu industri dalam negeri. Beberapa negara berkembang hanya mengijinkan KMN membuka suatu usaha di wilayahnya, jika mayoritas saham (sekurang-kurangnya 50,1%) berada dalam tangan warga negara setempat.
Karena kekosongan hukum pada taraf internasional, kesadaran etis bagi KMN lebih mendesak lagi. De George merumuskan sepuluh aturan etis yang dianggap paling mendesak dalam konteks ini. Tujuh norma pertama berlaku untuk semua KMN, sedangkan tiga aturan terakhir terutama dirumuskan untuk industri berisiko khusus seperti pabrik kimia atau instalasi nuklir. Sepuluh aturan itu adalah:
  1. Korporasi Multinasional tidak boleh dengan segaja mengakibatkan kerugian langsung.
  2. Korporasi Multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian bagi negara di mana mereka beroperasi.
  3. Dengan kegiatannya, Korporasi Multinasional itu harus memberi konstribusi kepada pembangunan negara di mana ia beroperasi.
  4. Korporasi Multinasional harus menghormati Hak Asasi Manusia dari semua karyawannya.
  5. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, Korporasi Multinasional harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya, bukan menentangnya.
  6. Korporasi Multinasional harus membayar pajak yang “fair”.
  7. Korporasi Multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam mengembangkan dan menegakkan “background institutions” yang tepat.
  8. Jdhsa
  9. Jika suatu Korporasi Multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.
  10. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang, Korporasi Multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman dalam negara baru yang belum berpengalaman.

Masalah Korupsi Pada Taraf Internasional
Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada taraf internasional, namun perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi dalam literatur etika bisnis terutama diarahkan kepada konteks internasional. Masalah korupsi dapat menimbulkan kesulitan moral besar bagi bisnis internasional, karena di negara satu bisa saja dipraktekkan apa yang tidak mungkin diterima di negara lain. Berdasarkan pemikiran De George, terdapat empat alasan mengapa praktek suap harus dianggap tidak bermoral.
a)        Alasan pertama dan paling penting adalah bahwa praktek suap itu melanggar etika pasar. Kalau kita terjun dalam dunia bisnis yang didasarkan pada prinsip ekonomi pasar, dengan sendirinya kita mengikat diri untuk berpegang pada aturan-aturan mainnya. Pasar ekonomi merupakan kancah kompetisi yang terbuka. Hal itu mengakibatkan antara lain bahwa harga produk merupakan buah hasil dari pertarungan daya-daya pasar. Dengan praktek suap, daya-daya pasar dilumpuhkan dan para pesaing mempunyai produk sama baik dengan harga lebih menguntungkan, tidak sedikit pun dapat mempengaruhi proses penjualan. Karena itu baik yang memberi suap maupun yang menerimanya berlaku kurang fair terhadap orang bisnis lain. Pasar yang didistorsi oleh praktek suap adalah pasar yang tidak efisien. Karena praktek suap itu, pasar tidak berfungsi seperti semestinya.
b)        Alasan kedua adalah bahwa orang yang tidak berhak, mendapatkan imbalan juga. Dalam sistem ekonomi kita, mereka yang bekerja atau berjasa mendapat imbalan.
c)        Alasan ketiga berlaku untuk banyak kasus suap di mana uang suap diberikan dalam keadaan kelangkaan. Misalnya, dalam keadaan kekurangan kertas seorang penerbit mendapatkan persediaan kertas baru dengan memberi uang suap. Pembagian barang langka dengan menempuh praktek suap mengakibatkan bahwa barang itu diterima oleh orang yang tidak berhak menerimanya, sedangkan orang lain yang berhak menjadi tidak kebagian. Hal ini jelas bertentangan dengan asas keadilan.
Alasan terakhir adalah bahwa praktek suap mengundang untuk melakukan perbuatan tidak etis dan ilegal lainnya. Baik perusahaan yang memberi uang suap maupun orang atau instansi yang menerimanya tidak bisa membukukan uang suap itu seperti mestinya. Secara tidak langsung, orang yang terlibat dalam kasus suap akan terlibat dalam perbuatan kurang etis lainnya karena terpaksa terus-menerus harus menyembunyikan keterlibatannya.

Comments

Popular posts from this blog

LINGKUNGAN DOMESTIK, ASING DAN INTERNASIONAL

STRATEGI HARGA INTERNASIONAL/GLOBAL

LATIHAN SOAL BISNIS INTERNASIONAL SEMESTER GENAP 2019