FAKTOR-FAKTOR PENENTU PROSPEK PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA
1. Faktor-faktor Internal
Tidak dapat diingkari bahwa penyebab utama berubahnya krisis rupiah menjadi
suatu krisis ekonomi paling besar yang pernah dialami Indonesia pada tahun 1998
lalu adalah karena buruknya fundamental ekonomi nasional, sedangkan lambatnya
proses pemulihan ekonomi nasional selama dua tahun belakangan ini lebih
disebabkan oleh kondisi politik, sosial, dan keamanan di dalam negeri yang
kenyataannya sejak reformasi dicetuskan Mei 1998 lalu hingga saat ini semakin
buruk. Selama tahun 2000 fundamental ekonomi mengalami perbaikan nyata,
walaupun lajunya lambat sehingga masih jauh dari kondisi yang baik atau kuat.
Pemulihan ekonomi Indonesia berjalan lambat dikarenakan proses pebaikan fundamental ekonomi nasional tidak disertai kestabilan politik dan keamanan yang memadai, penyelesaian konflik sosial, serts kepastian hukum. Faktor-faktor nonekonomi ini merupakan aspek-aspek penting dalam menentukan tingkat resiko yang terdapat di dalam suatu negara yang menjadi dasar keputusan bagi pelaku-pelaku bisnis, khususnya asing, untuk melakukan usaha di negara tersebut.
Pemulihan ekonomi Indonesia berjalan lambat dikarenakan proses pebaikan fundamental ekonomi nasional tidak disertai kestabilan politik dan keamanan yang memadai, penyelesaian konflik sosial, serts kepastian hukum. Faktor-faktor nonekonomi ini merupakan aspek-aspek penting dalam menentukan tingkat resiko yang terdapat di dalam suatu negara yang menjadi dasar keputusan bagi pelaku-pelaku bisnis, khususnya asing, untuk melakukan usaha di negara tersebut.
Ketidakstabilan politik dan konflik sosial, baik horizontal maupun vertikal, yang terus berlangsung dan tidak ada tanda-tanda bahwa akan membaik pada tahun 2001 ini serta ditambah lagi dengan tidak adanya rasa aman membuat tingkat country risk Indonesia semakin tinggi. Perkembangan yang tidak menentu seperti ini menjadi penghalang utama pertumbuhan investasi di Indonesia.
Padahal, investasi, khususnya penanaman modal jangka pnjang (PMA), merupakan sumber utama pertumbuhan ekonomi jangka panjang, terutama untuk sektor-sektor ekonomi yang secara potensial bisa sangat produktif dan bisa diandalkan sebagai sumber devisa yang saat ini masih mengalami kelesuan. Sampai dengan triwulan kedua tahun 2000, nilai pengeluaran konsumsi mencapai Rp 76,3 triliun yang didominasi oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga yang hampir mencapai Rp 69 triliun.
Angka persetujuan investasi, baik usulan penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN), menunjukkan bahwa minat sektor swasta melakukan investasi di dalam negeri cenderung menurun. Sejak januari 2000 pemerintah telah memberikan persetujuan PMA sebanyak 536 proyek senilai 2,1 miliar dolar AS serta usulan proyek PMDN sebanyak 117 dengan nilai Rp 11,7 triliun. Selama tahun 1999 jumlah proyek yang disetujui untuk PMA adalah 1.164 proyek senilai 10.890,6 juta dolar AS dan PMDN sebanyak 237 proyek senilai Rp 53.550 miliar.
2. Faktor-faktor Eksternal
Kondisi perdagangan dan perekonomian regional atau dunia merupakan faktor
eksternal yang sangat penting untuk mendukung pemulihan ekonomi di Indonesia.
Kondisi ini penting karena sangat berpengaruh terhadap prospek pertumbuhan
ekspor dan investasi asing di dalam negeri. Apabila perekonomian negara-negara
mitra dagang Indonesia mengalami kelesuan, terutama Jepang, Amerika Serikat,
Eropa Barat, dan Australia, akan mempersulit Indonesia dalam proses pemulihannya.
Banyak lembaga dunia memperkirakan kondisis perekonimian Asia tahun 2001 tidak akan lebih baik dibandingkan tahun 2000. Bahkan, Deutsche Bank Hong Kong memperkirakan kondisi perekonomian Asia tahun 2001 tidak akan berbeda dengan kondisi 1999, yang selain masih terperangkap dalam resesi, juga terpukul oleh melambatnya permintaan impor dari pasar besar, yakni Amerika Serikat. Deutsche Bank memperkirakan pertumbuhan ekspor Asia akan anjolk sebesar 40% pada tahun 2001. Sementara, Merrill Lynch di Singapura memprediksi ekspor Asia hanya akan naik 7%, setelah tumbuh 20% pada tahun 2000.
Sementara itu, JP Morgan memperkirakan bahwa setelah mengalami ekspor 7,8% pada paruh pertama tahun 2000, PDB riil Asia hanya akan tumbuh sekitar 3% pada kuartal kempat. Untuk tahun 2001, JP Morgan memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia akan turun menjadi 5,4%.
Banyak lembaga dunia memperkirakan kondisis perekonimian Asia tahun 2001 tidak akan lebih baik dibandingkan tahun 2000. Bahkan, Deutsche Bank Hong Kong memperkirakan kondisi perekonomian Asia tahun 2001 tidak akan berbeda dengan kondisi 1999, yang selain masih terperangkap dalam resesi, juga terpukul oleh melambatnya permintaan impor dari pasar besar, yakni Amerika Serikat. Deutsche Bank memperkirakan pertumbuhan ekspor Asia akan anjolk sebesar 40% pada tahun 2001. Sementara, Merrill Lynch di Singapura memprediksi ekspor Asia hanya akan naik 7%, setelah tumbuh 20% pada tahun 2000.
Sementara itu, JP Morgan memperkirakan bahwa setelah mengalami ekspor 7,8% pada paruh pertama tahun 2000, PDB riil Asia hanya akan tumbuh sekitar 3% pada kuartal kempat. Untuk tahun 2001, JP Morgan memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia akan turun menjadi 5,4%.
PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI
Teori dan Empiris
Teori dan Empiris
Ada dua teori utama yang umum
digunakan dalam menganalisis perubahan struktur ekonomi, yakni dari Arthur
Lewis (teori migrasi) dan Hollis Chenery (teori transformasi struktural).
Teori Arthur Lewis pada dasarnya membahas proses pembangunan ekonomi yang terjadi di daerah pedesaan dan daerah perkotaan (urban). Dalam teorinya, Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi menjadi dua, yaitu perekonomian tradisional di pedesaan yang didominasi oelh sektor pertanian dan perekonomian mmodern di perkotaan denga industri sebagai sektor utama.
Kerangka pemikiran teori Chenery pada dasarnya sama dengan model Lewis. Teori Chenery, dikenal dengan teori pattern of development, memfokuskan pada perubahan struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi di LDCs yang mengalami transformasi dari perrtanian trsdisional (subsisten) ke sektor industri sebagai mesin utama perubahan ekonomi. Hasil penelitian empiris yang dilakukan oleh Chenery dan Syrquin (1975) mengidentifikasi bahwa sejalan peningkatan pendapatan masyarakat per kapita yang membawa perubahan dalam pola permintaan konsumen dari penekanan pada makanan dan barang kebutuhan pokok lain ke berbagai macam barang mabufaktur dan jasa, akumulasi kapital fisik dan manusia (SDM), perkembangan kota-kota dan industri-industri di urban bersama dengan proses migrasi penduduk dari pedesaan ke perkotaan, dan penurunan laju pertumbuhan penduduk family size yang semakin kecil, setruktur perekonomian suatu negara bergeser dari yang semula didominasi oleh sektor pertanian atau / dan sektor pertambangan manuju ke sektor-sektor nonprimer, khususnya industri.
Berdasarkan hasil study dari Chenery dan Syrquin, perubahan pangsa tersebut dalam periode jangka panjang menunjukkan suatu pola. Kontribusi output adri pertanian terhadap pembentukan PDB mengecil, sedangkan pangsa PDB dari industri manufaktur dan jasa mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan PDB atau pendapatan nasional per kapita.
Indikator penting kedua sering digunakan didalan studi-studi empiris untuk mengukur pola perubahan setruktur ekonomi adalah distribusi kesempatan kerja menurut sektor. Relasi antara tingkat pendapatan per kapita dan perubahan struktur ekonomi dapat dianalisis dengan pendekatan time series dan pendekatan cross section.
Teori Arthur Lewis pada dasarnya membahas proses pembangunan ekonomi yang terjadi di daerah pedesaan dan daerah perkotaan (urban). Dalam teorinya, Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi menjadi dua, yaitu perekonomian tradisional di pedesaan yang didominasi oelh sektor pertanian dan perekonomian mmodern di perkotaan denga industri sebagai sektor utama.
Kerangka pemikiran teori Chenery pada dasarnya sama dengan model Lewis. Teori Chenery, dikenal dengan teori pattern of development, memfokuskan pada perubahan struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi di LDCs yang mengalami transformasi dari perrtanian trsdisional (subsisten) ke sektor industri sebagai mesin utama perubahan ekonomi. Hasil penelitian empiris yang dilakukan oleh Chenery dan Syrquin (1975) mengidentifikasi bahwa sejalan peningkatan pendapatan masyarakat per kapita yang membawa perubahan dalam pola permintaan konsumen dari penekanan pada makanan dan barang kebutuhan pokok lain ke berbagai macam barang mabufaktur dan jasa, akumulasi kapital fisik dan manusia (SDM), perkembangan kota-kota dan industri-industri di urban bersama dengan proses migrasi penduduk dari pedesaan ke perkotaan, dan penurunan laju pertumbuhan penduduk family size yang semakin kecil, setruktur perekonomian suatu negara bergeser dari yang semula didominasi oleh sektor pertanian atau / dan sektor pertambangan manuju ke sektor-sektor nonprimer, khususnya industri.
Berdasarkan hasil study dari Chenery dan Syrquin, perubahan pangsa tersebut dalam periode jangka panjang menunjukkan suatu pola. Kontribusi output adri pertanian terhadap pembentukan PDB mengecil, sedangkan pangsa PDB dari industri manufaktur dan jasa mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan PDB atau pendapatan nasional per kapita.
Indikator penting kedua sering digunakan didalan studi-studi empiris untuk mengukur pola perubahan setruktur ekonomi adalah distribusi kesempatan kerja menurut sektor. Relasi antara tingkat pendapatan per kapita dan perubahan struktur ekonomi dapat dianalisis dengan pendekatan time series dan pendekatan cross section.
Comments
Post a Comment